11. Sikap Pejuang

4 1 0
                                    

Perlahan, Awan mulai menerima kepergian kedua orang tuanya. Luka yang ada di tubuhnya pun mulai sembuh. Ia tidak lagi bersikap cuek terhadap Bintang dan senang memiliki Pejuang sebagai teman. Mereka bermain bersama dengan riangnya. Bintang yang melihat hal itu pun ikut senang. Keputusannya menjaga dan merawat Pejuang tidaklah salah. Semuanya berjalan baik-baik saja, sampai suatu ketika, Pejuang tidak lagi menunjukkan tanda-tanda rasa nyamannya pada Awan.

"Kamu sendirian saja, Awan. Pejuang mana?" Bintang duduk di depan Awan yang sibuk mewarnai buku bergambarnya. Dikarenakan libur sekolah belum usai, maka Awan memilih bermain dan belajar di rumah ditemani Pejuang. Namun, kali ini, Pejuang tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya di depan Awan.

Awan mengedikkan bahu. "Gak tahu, Kak. Tadi Awan ajak Pejuang main, tapi dia malah pergi. Gak tahu sekarang ke mana. Mungkin lagi cari makanan," tukasnya memberikan penjelasan.

Bintang mengangguk mengerti. Pemikiran Awan mungkin saja benar. Pejuang juga sering pergi meninggalkan rumah dan saat kembali, dia membawa makanan yang hanya dirinya sendiri saja yang bisa memakannya.

"Kamu lanjut belajar lagi saja. Kakak mau masak untuk makan malam kita," kata Bintang seraya beranjak dari tempat duduknya. Ia harus lebih berhemat jika ingin uang hasil gajinya mencukupi kehidupan untuk sebulan.

Bintang memasak menu makanan sederhana. Sangat sederhana malah, yaitu nasi goreng dengan telur dadar. Meskipun sederhana, tetapi Awan memakannya dengan lahap. Seulas senyum terlukis di bibir Bintang. Kedatangan Pejuang seketika mengalihkan sejenak perhatiannya dari nasi goreng yang ada di atas piring. Pejuang mendekat pada Bintang sebelum meringkuk di dekat kakinya.

"Pulang-pulang langsung tidur," komentar Bintang disertai embusan napas panjang. Dibandingkan hewan peliharaan, Pejuang lebih terlihat sebagai seorang majikan. Hidupnya begitu enak. Memiliki tempat tinggal yang nyaman tanpa perlu memikirkan cicilan yang ada. Mendapatkan kasih sayang tanpa pernah meminta. Juga, makannya terjamin. Pejuang tidak perlu repot-repot mencari makanan sendiri, meskipun terkadang dia akan melakukannya jika ingin.

"Mungkin Pejuang capek, Kak," jawab Awan seadanya.

"Mungkin saja," balas Bintang singkat.

Baik Bintang ataupun Awan, keduanya sama-sama sibuk dengan makanan mereka sendiri. Tanpa disadari, Pejuang memperhatikan gerak-gerik Bintang sebelum beralih pada Awan. Pejuang mencakar pelan paha Bintang. Merasa terganggu, Bintang mengusir Pejuang.

Dengan langkah malas, Pejuang pergi meninggalkan kedua bersaudara itu. Dia memilih berbaring di tempat tidur kesayangannya, yaitu keset kaki. Namun, matanya terus memperhatikannya Bintang dan Awan. Jika bisa berbicara, Pejuang sudah pasti memberitahukan apa yang mengganjal di pikirannya pada Bintang ataupun Awan.

Begitupula sebaliknya. Bintang akan melakukan hal yang sama, yaitu menanyakan perihal Pejuang yang terlihat tidak senang saat Awan mendekatinya. Pejuang tidak mau lagi diajak bermain oleh Awan.
Bintang mulai khawatir pada Pejuang. Takutnya, kucing belang itu sedang sakit, tetapi keadaannya terlihat fit dan baik-baik saja.

Bintang menghiraukan perilaku Pejuang yang sedikit berbeda dengan harapan suatu hari perilakunya akan kembali seperti semula, terlebih pada Awan. Entah apa yang sudah dilakukan Awan sehingga Pejuang tidak ingin berada dekat dengannya lagi. Tindakan Pejuang berhasil membuat Awan murung dan sedih.

"Besok Kakak akan bawa Pejuang ke klinik hewan, siapa tahu dia sakit. Kamu mau ikut?" Perilaku Pejuang cukup membuat khawatir sehingga Bintang memutuskan membawanya ke klinik.

Awan menggeleng. "Enggak, Kak. Nanti Pejuang lari lagi, kalau ada Awan," balasnya seadanya.

Bintang mengerti perasaan Awan. Kedekatan antara dirinya dan kucing belang itu sudah terbilang dekat, tetapi harus renggang tanpa kepastian seperti itu. "Kakak pastikan Pejuang mau main lagi denganmu," ucapnya menghibur sang adik. "Sekarang kamu tidur, ya. Besok sudah mulai masuk sekolah, kan?"

Awan mengangguk mengerti sebelum merebahkan diri di ranjang. Tanpa terasa, tahun ajaran baru telah tiba. Mengharuskan kembali siswa-siswinya kembali ke sekolah.

"Aneh, Pejuang cuma gak mau dekat dengan Awan," gumam Bintang sebelum menggerakkan kakinya meninggalkan kamar.

Pejuang tertidur lelap di sebuah keset kaki. Bintang mendekat ke arahnya lalu mengelus lembut kucing itu. Tindakan Bintang membangunkan Pejuang yang tanpa basa-basi menggosokkan tubuhnya ke kaki si pemilik. "Kamu kenapa gak mau bermain lagi dengan Awan, Pejuang? Dia pernah melukaimu atau apa?"

Pejuang mengeong sebagai respon pertanyaan Awan. Akan sangat membantu jika Pejuang bisa menggunakan bahasa manusia atau Bintang bisa berbicara pada hewan, terutama kucing.

"Awan sangat senang saat kamu datang ke rumah ini, Pejuang. Berkatmu, kesedihannya atas kehilangan orang tua kami hilang dan dia kembali ceria seperti dulu. Sekarang kamu malah bersikap seperti ini. Kamu membuatnya sedih."

Bintang tersentak kaget saat Pejuang mengeong keras. Persis seperti saat sedang berhadapan dengan kucing lain. Ini kali pertama ia mendengar Pejuang mengeong keras seperti itu. Mengapa Pejuang mengeong keras? Apakah karena Awan?

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now