10. Kesedihan Awan

3 1 0
                                    

Embusan napas berat terdengar jelas di ruangan sepi itu. Bintang menatap sang adik yang terduduk di sudut ruangan kamar. Rasa sedih kehilangan kedua orang tua membuatnya sampai tidak sadarkan diri. Awan semakin murung setelah kepulangan tanpa sadarnya ke rumah.

"Awan, kamu belum makan, loh, dari tadi. Makan, yuk. Nanti kamu sakit," ajak Bintang entah sudah yang keberapa kalinya.

"Awan gak mau, Kak," balas Awan tanpa menatap lawan bicaranya.

"Mau sampai kapan kamu kaya gini? Kalau kamu sakit, yang susah Kakak juga, terus ayah dan ibu juga pasti sedih," kata Bintang lagi.

"Awan juga sedih kehilangan ayah dan ibu, tapi Kak Bintang malah bohong."

Ucapan Awan seketika membungkam Bintang. "Kakak gak mau bohong, tapi Kakak memikirkan kesehatanmu. Seperti sekarang ini, kamu jadi murung dan gak mau makan. Kalau kamu sakit, gak ada yang jagain kamu, Awan. Kakak pasti sibuk kerja."

"Biarkan saja Awan sakit. Kakak gak perlu jagain Awan, kok."

Tangan Bintang terkepal erat. Kakinya dibawa melangkah mendekat pada Awan. "Kamu boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut, ya. Masih ada kehidupan yang harus kamu jaga," ucapnya seraya mengusap lembut kepala sang adik.

Awan menoleh dengan tatapan bingung. "Awan gak paham sama ucapan Kak Bintang."

"Bisa dibilang kamu pun hampir gak selamat dari kebakaran itu, Awan, tapi kamu berhasil selamat dan bertahan. Kamu gak mau, kan, melihat Kakak sedih karena harus kehilangan kamu juga? Maka hargai kehidupan yang masih ada padamu sampai saat ini. Kakak janji akan jaga kamu sebaik yang Kakak bisa."

Kali ini, giliran Awan yang terdiam mendengar ucapan Bintang. "Awan mau tidur, Kak," katanya seraya beranjak.

"Ya sudah. Kakak gak akan ganggu kamu." Bintang beranjak pergi meninggalkan kamar. Harapnya, kesedihan Awan tidak berlarut-larut. Sama seperti dirinya yang telah memutuskan bertahan dengan hidupnya.

"Semoga kesedihan Awan cepat berlalu dan dia bisa kembali ceria seperti sebelumnya," gumam Bintang penuh harap.

Bintang membiarkan Awan seorang diri. Membebaskan kesedihan mendalam sang adik atas kepergian kedua orang tua mereka. Sebisa mungkin ia tetap memberikan perhatian pada Awan, tetapi anak laki-laki itu tidak menanggapi niat baik Bintang, kecuali perihal mengisi ulang energinya. Awan akan makan tepat pada waktunya.

***

"Mulai sekarang, kamu tinggal bareng denganku dan Awan," ucap Bintang seraya mengelus kepala kucing yang beberapa hari lalu dibawanya ke klinik hewan.

Pejuang mengeong senang. Tidak hanya keadaannya saja yang sudah pulih, tetapi sekarang, ia telah menemukan rumah baru. Tempat bernaung sekaligus keluarga yang akan menjaga dan merawatnya sepenuh hati.

"Semoga kamu dan Awan bisa berteman baik, ya," ucap Bintang lagi sebelum memasukkan Pejuang ke dalam kandangnya.

Bersama Blubell, Bintang membawa Pejuang pulang. Tidak hanya dengan tujuan memberikan tempat tinggal, tetapi Bintang juga berharap Pejuang mampu menghibur Awan dan membuatnya kembali ceria seperti dulu. Pola kehidupan Awan sudah tidak teratur, dan Bintang tidak ingin kesehatan Awan pun ikut terganggu. Ia tidak ingin adiknya itu kembali terbaring di rumah sakit.

Maksud hati, Bintang ingin memberi kejutan pada Awan, dengan membawa Pejuang. Akan tetapi, bukan Awan yang merasa terkejut, melainkan dirinya sendiri. Bintang tidak menemukan keberadaan Awan setibanya di rumah. Ia telah mencari-cari keberadaan sang adik ke seluruh penjuru rumah, tetapi belum juga menemukannya. Tanda-tanda keberadaannya saja tidak terdeteksi.

"Awan, kamu di mana?" Bintang bertanya khawatir. Tampaknya, Awan pergi jauh meninggalkan rumah sampai keberadaannya sulit ditemukan.

Selagi mencari Awan, Pejuang ditinggalkan di rumah oleh Bintang, dengan kandang yang terkunci rapat. Para tetangga tentunya tidak luput dari penglihatan Bintang. Ia bertanya perihal keberadaan Awan pada siapa pun yang ditemuinya.

"Awan, kamu ke mana saja sejak tadi? Kakak cariin kamu," kata Bintang sesaat setelah menemukan Awan.

"Awan lagi main sama temen baru, Kak," jawabnya seadanya. Awan terlihat berkumpul bersama teman-teman baru yang rumahnya terletak lumayan jauh dari rumah mereka.

"Kalau mau pergi, kamu seharusnya bilang dulu sama Kakak. Jangan kaya gini, Awan. Kakak kira kamu hilang entah ke mana. Kakak khawatir." Bintang tidak bisa menampik rasa khawatirnya terhadap sang adik.

Awan tertunduk. "Maaf, Kak," ucapnya penuh sesal.

"Ya sudah, ayo kita pulang. Kakak punya kejutan untukmu," ajak Bintang yang langkahnya diikuti oleh Awan. Pemuda berambut hitam pendek itu sedikit banyaknya merasa bersyukur atas kepergian Awan yang tidak berpamitan padanya. Tanpa disadari, Awan tidak lagi menolak adu dialog dengannya.

"Mulai sekarang, kucing ini akan tinggal bersama kita. Namanya Pejuang." Bintang berucap antusias sembari menunjukkan Pejuang di depan Awan.

Reaksi yang diberikan Awan ialah berupa tatapan bingung. "Pejuang?"

"Iya, Pejuang. Nama kucing ini Pejuang. Sama seperti Awan yang memutuskan bertahan dengan hidup yang kamu miliki, kucing ini juga melakukan hal yang sama. Pejuang sudah kembali sehat dan ceria, kakak harap kamu pun kembali sehat dan ceria seperti dulu."

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora