9. Kenyataan

7 1 0
                                    

Sudah tidak terhitung berapa kali Bintang mengetuk pintu kamar. Akan tetapi, Awan berdiam diri di sana tanpa mempedulikannya. Bintang yang berucap kasar pada sang adik tentu menyakiti hati kecilnya. Selama ini, Bintang selalu bersikap baik dan berucap lembut pada Awan. Lantas, mengapa kali ini si anak sulung itu begitu marah? Padahal, keinginan Awan begitu sederhana dan tidak sulit untuk dikabulkan.

"Awan, Kakak minta maaf. Kakak gak bermaksud berucap keras kaya gitu. Kakak cuma lagi capek. Makan, yuk. Kamu pasti lapar, kan?"

Ucapan Bintang tidak mendapatkan balasan dari Awan yang masih berdiam diri di kamar. Hal tersebut membuat Bintang pusing juga, sebab, akan sulit membujuk Awan jika anak itu sudah merajuk. Tanpa disadari, Bintang juga berucap dengan nada tinggi seperti itu. Awan tentunya sedih sekaligus bingung.

Bintang kembali mengetuk pintu kamar. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Kalau kamu mau ketemu dengan ayah dan ibu, oke, Awan. Kakak akan bawa kamu ketemu ayah dan ibu. Kamu mau kapan? Hari ini? Besok? Kapan pun kamu mau, Kakak akan antar." Bintang pasrah. Ia tidak lagi bisa berbohong.

Awan belum juga memberikan tanggapan. Bintang yang sudah tidak bisa memikirkan cara apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membujuk Awan, akhirnya memutuskan membalikkan badan. Namun, suara khas pintu terbuka seketika mengurungkan niatnya pergi.

"Kakak gak bohong, kan?" Awan bertanya dengan sorot mata serius.

Bintang mengangguk. "Kakak gak bohong, kok. Kamu mau ketemu ayah dan ibu kapan? Kakak akan antar," balasnya dengan senyum yang dipaksakan. Tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi ia harus menghadapi kenyataan itu. Begitupula dengan Awan.

"Awan mau ketemu ayah dan ibu hari ini, Kak. Ayo kita temui mereka," ajak Awan antusias sembari menarik tangan sang kakak.

"Janji, ya, Awan, kamu akan menerima bagaimanapun keadaan ayah dan ibu?"

Ucapan Bintang seketika membuat Awan menatapnya bingung. "Maksudnya, Kak? Awan gak ngerti."

"Bukan apa-apa. Ayo kita pergi." Bintang mendahului langkah Awan meninggalkan rumah.

Selama perjalanan, hati Bintang tidak tenang sama sekali. Tempat tujuannya kali ini bukanlah tempat yang menyenangkan, tetapi sebuah tempat yang menguras banyak tetes air mata. Meskipun begitu, Bintang mencoba menenangkan dirinya sendiri. Jika ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, maka bagaimana dengan Awan? Anak laki-laki itu belum bisa mengontrol emosinya.

Blubell berhenti di depan pemakaman. Hal tersebut menimbulkan tatapan bingung penuh tanya dari Awan.

"Ikut Kakak saja, ya, Awan," kata Bintang dengan nada lembut.

Awan mengikuti langkah Bintang dalam diam. Netranya terus memperhatikan sekitar. Suasana di pemakaman sedikit dingin, tetapi tidak ada yang lebih menyeramkan dibandingkan udara yang berputar di sekitar Awan. Belum lagi dengan bunga tidur yang menghampirinya beberapa saat lalu.

Langkah Bintang tiba-tiba berhenti. Membuat Awan yang berada di belakang tidak sengaja menabrak punggungnya. Awan sedikit meringis sambil mengusap-usap keningnya pelan.

"Awan, kamu mau ketemu dengan ayah dan ibu, kan? Sekarang kamu sudah bertemu dengan mereka, tapi dalam keadaan seperti ini." Bintang berucap tanpa menatap mata sang adik.

Awan memperhatikan sekilas kedua makam yang bersebelahan itu sebelum beralih pada Bintang. "Jadi mimpi Awan benar, Kak? Ayah dan ibu gak selamat dari kebakaran?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Tanpa dijelaskan, Awan sudah mengetahui apa yang telah terjadi.

Bintang tidak sanggup menjawab pertanyaan Awan sehingga ia memutuskan memeluk erat adiknya itu. Tangis Awan pecah tanpa aba-aba. Ia menjatuhkan air mata begitu derasnya sehingga membasahi kaus oblong yang dikenakan Bintang.

"Mulai sekarang, Kakak akan jaga kamu, Awan. Kakak akan bekerja keras sampai kamu sukses." Bintang tidak tahu apakah ucapannya mampu menenangkan Awan, tetapi, itulah kalimat yang ingin diucapkannya pada Awan. Saat ini, keluarga yang tersisa hanyalah Awan. Bintang akan bekerja keras untuk Awan dan akan menjaganya dengan segenap tenaga.

Ucapan Bintang tidak lagi terdengar ke telinga Awan. Ia tidak pernah menyangka jika bunga tidur yang membuat air matanya sempat jatuh ternyata benar adanya.

"Ayo kita doakan ayah dan ibu. Semoga mereka dimasukkan ke surganya Allah," ajak Bintang. Namun, Awan bergeming di tempatnya. Bintang dapat merasakan kausnya yang semakin basah.

Bintang tidak memaksa Awan dan lebih memilih berdoa seorang diri. Dalam hati, ia mengucapkan permintaan maaf pada kedua orang tuanya karena telah berbohong pada Awan. Sampai detik ini pun, ia belum bisa mengucapkan dengan lantang dan jelas bahwa kedua orang tua mereka tidak selamat dalam musibah kebakaran itu. Namun, ia berjanji akan menjaga Awan dengan sebaik mungkin.

"Awan, kita pulang, ya. Kamu butuh istirahat sekarang," ucap Bintang lagi. Awan masih setia dalam diamnya, tetapi kali ini, ia diam bukan karena rasa sedihnya, melainkan karena ketidaksadarannya.

"Awan?"

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now