8. Rumah Baru

7 1 0
                                    

Sebuah rumah kontrakan menjadi pemandangan yang biasa dilihat oleh kebanyakan orang. Namun, tidak dengan Awan yang baru saja meninggalkan rumah sakit. Bukan rumah kontrakan ini yang ingin dilihatnya, tetapi rumah yang menjadi tempat bernaung dirinya bersama keluarga Rumah yang dipenuhi banyak kenangan.

"Ini di mana, Kak? Kak Bintang mau menjumpai seseorang di sini?" tanya Awan penasaran seraya melihat sang kakak.

"Bukan, Awan. Sekarang rumah ini menjadi tempat tinggal kita yang baru. Rumah ini adalah rumah kita," jawab Bintang seadanya.

Awan menatap bingung Bintang. "Rumah kita gak bisa ditempati lagi, Kak?"

Bintang mengangguk. "Iya. Kebakaran itu begitu parah sampai rumah kita gak bisa ditempati lagi. Mulai sekarang, ini rumah baru kita. Kakak harap kamu betah tinggal di sini."

"Awan betah, asal bareng Kak Bintang, ayah dan ibu," kata anak laki-laki itu.

"Iya. Ayo kita masuk," ajak Bintang sebelum melangkah memasuki rumah. Tidak ada banyak barang di rumah tersebut. Apalagi barang-barang di rumah yang lama hampir semuanya ikut hangus terbakar. Barang-barang yang tersisa pun telah dijual oleh Bintang sebagai penunjang ekonomi kehidupannya dan Awan.

"Kamar kamu ada di sana, Awan. Kamar Kakak di sini," tunjuk Bintang pada sebuah ruangan.

Awan melihat kamarnya lalu beralih pada kamar Bintang. "Kamar ayah dan ibu mana, Kak?" tanyanya penasaran.

Bintang menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Ayah dan ibu memberikan kamar mereka untukmu, Awan. Kamu sudah lama ingin kamar sendiri, kan?"

"Iya, Kak, tapi Awan gak mau punya kamar kalau ayah dan ibu gak punya kamar. Lebih baik Awan tidur bareng Kak Bintang saja. Kamar Awan bisa dipakai kembali sama ayah dan ibu."

Penuturan Awan membuat Bintang mengulas senyum. "Baik banget, sih, adiknya Kak Bintang," katanya sembari mengusap rambut sang adik. "Ya sudah, kalau kamu maunya begitu, kamu bisa tidur bareng Kakak."

"Terus ayah dan ibu mana, Kak? Awan pengen ketemu dengan mereka."

Senyum yang sempat menghiasi wajah Bintang seketika menghilang. "Ayah dan ibu lagi sibuk sekarang. Terus Kak Bintang juga harus kerja. Jadinya gak bisa ajak kamu ketemu dengan mereka. Kalau Kak Bintang punya waktu luang, Kakak akan bawa kamu ketemu sama ayah dan ibu, ya?"

Bintang tetap memasang wajah gembira di depan Awan, meskipun hatinya sudah sangat berantakan. Ia tidak tahu sampai kapan menyimpan kebohongan itu. Namun, cepat atau lambat, kebenaran akan kematian kedua orang tua mereka akan sampai ke telinga Awan. Siap atau tidak siap.

"Terus Awan tinggal sendiri di rumah?" Awan bertanya dengan wajah murung.

"Iya, untuk sementara. Secepat mungkin Kakak akan menyelesaikan pekerjaan agar kamu gak berlama-lama sendirian di rumah," kata Bintang guna mengembalikan senyum sang adik.

"Kak Bintang kerja saja yang benar. Awan bisa tinggal sendiri di rumah, kok. Pulang nanti jangan lupa bawa makanan, ya."

"Siap, bos," balas Bintang dengan ibu jari yang diarahkan pada Awan.

Sejujurnya, Bintang tidak ingin meninggalkan Awan sendirian di rumah , tetapi ia juga harus bekerja. Meskipun merasa sedikit khawatir, tetapi Bintang percaya bahwa adiknya bisa menjaga diri dan tinggal dengan tenang di rumah itu.

***

Seperti yang dijanjikannya, Bintang dengan cepat menyelesaikan pekerjaan dan kembali ke rumah. Awan terlihat tertidur lelap di depan televisi yang masih menyala. Televisi itu merupakan televisi bekas yang dibeli oleh Bintang. Gambarnya tidak sebagus televisi pada umumnya, tetapi cukup menjadi teman di kala suntuk melanda.

Bintang menggeleng. "TV-nya dibiarkan menyala," ucapnya sembari mematikan televisi tersebut.

Seketika Bintang tersentak kaget saat mendengar Awan memanggil orang tua mereka dalam tidurnya. "Bangun, Awan," ucap Bintang seraya mengguncang tubuh sang adik.

Awan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum memeluk Bintang erat. "Awan mimpi ayah dan ibu gak selamat dalam kebakaran itu, Kak. Ayah dan ibu baik-baik saja, kan? Mereka selamat, kan, Kak?" tanyanya dengan air mata yang mulai berjatuhan.

Bintang membalas pelukan sang adik. "Ayah dan ibu baik, kok. Kamu hanya mimpi buruk saja. Sudah, lebih baik kamu makan, ya. Kakak bawa makanan, sesuai dengan permintaanmu."

Awan menggeleng keras. "Gak mau, Kak. Awan mau ketemu dengan ayah dan ibu!" ucapnya sedikit keras.

"Nanti saja, ya. Kakak akan bawa kamu ketemu ayah dan ibu, tapi gak sekarang."

"Kenapa gak bisa sekarang, Kak? Awan mau ketemu dengan ayah dan ibu sekarang juga." Awan berucap dengan mata berkaca-kaca.

"Gak bisa, Awan. Kamu jangan kaya gini. Kakak akan bawa kamu ketemu ayah dan ibu, tapi gak sekarang." Bintang berusaha membujuk Awan dengan nada lembut.

"Tapi Awan mau ketemu sekarang, Kak."

Gigi Bintang bergemeretak. "Sekali Kakak bilang enggak, ya, enggak, Awan! Kamu jangan keras kepala!" Tanpa sadar, Bintang meninggikan suaranya.

Sesaat, Awan terdiam. "Kak Bintang jahat!" ucapnya sebelum berlari pergi memasuki kamar.

Bintang mengembuskan napas panjang. "Kenapa kau melakukan itu, Bintang?" tanyanya pada diri sendiri. Ia tidak bermaksud berucap kasar pada Awan.

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now