Bagian 12: Perang Besar

135 16 1
                                    

PERANG BESAR

Roro Jonggrang merenung di balkon kamarnya. Hatinya perih mengingat Bandung. Dia merasa dikhianati. Merasa bodoh menyerahkan kesuciannya pada anak pembunuh ibunya. Dosa dan keburukannya tak bisa diampuni. Airmatanya jatuh dalam kegalauan yang mendalam.

"Raden Ayu." Seorang dayang memanggilnya. "Pasukan akan segera berangkat."

Roro menghapus airmatanya dan segera menuju halaman istana.

Di sana sudah dipenuhi bala tentara yang mengusung berbagai panji. Baka dan Gupala memakai baju zirahnya menunggangi banteng Gumarangnya, di sampingnya juga ada Pangeran Adya menunggangi kuda Tunangga Seta, dia terlihat gagah berani. Roro membelah pasukan menghampiri mereka.

"Jangan tinggalkan keraton, Roro Jonggrang. Berdoalah agar Prambanan tetap aman. Dan jika matahari tenggelam aku belum kembali, jangan takut. Lakukan apa pun untuk melindungimu," pesan Baka pada putri semata wayangnya itu sambil mengelus pipinya.

Roro mengangguk memegang kuat tangan pesar bapaknya. Dia amat sangat takut. Tapi seorang Puteri selalu dituntut untuk berani. Akhirnya dia mengambil kalung janur kuning yang disediakan dayang dan mengalungkannya ke Baka. Tanda restu dan doa menyertainya. Dia juga mengalungkannya pada Patih Gupala. Begitu juga dengan Pangeran Adya.

"Semoga kau kembali dengan selamat, Pangeran Adya," ucapnya lembut sambil mengalungkan janur itu.

Dan berangkatlah mereka menuju medan perang.

***

Matahari bersinar terik. Benteng perbatasan di Kleteng di penuhi prajurit Pengging, Kah, Gantari, dan para prajurit Kalimantan. Mereka juga bersiap menuju medan perang.

"Ayahanda." Bandung bicara dengan Damar Maya. "Haruskah kita berperang? Tidak bisakah semua baik-baik saja? Tidak bisakah kalian saling meredam dendam masing-masing?"

Damar Maya mengelus bahu anaknya itu. "Ini bukan lagi masalah dendam, Nak. Ini lebih dari itu. Nasib Tujuh Kerajaan Jawa bergantung pada ini. Perang ini harus kita menangkan," terang Damar Maya mantap, lalu dia segera menaiki kuda Sembraninya dan bergabung dengan pasukan yang siap berangkat.

Bandung bersimpuh. Dirinya bergetar tak tahu harus bagaimana. Semalam dia adalah orang paling bahagia, sekarang perang melanda. Membuatnya makin jauh dengan cinta.

"Bandung," Seorang pemuda berpakaian serba putih menghampirinya. "Ini bukan perang antara si baik dan si buruk. Ini adalah perang antara manusia serakah. Mereka sama-sama membela diri. Ini adalah sifat manusia, kau tak bisa menghentikannya."

Bandung menatap dalam Pemuda serba putih itu. "Andai Raja-raja Jawa sepertimu, damailah tanah ini," gumamnya putus asa. "Tetaplah di dekatku selama perang agar aku bisa membedakan mana yang baik dan buruk."

Mantan Bidadara Istana Putih itu tersenyum. "Aku tidak bisa terlibat dalam perang. Aku akan pergi ke Timur, menyeberangi selat Bali, menjelajahi dunia hingga Dewa Kematian menjemputku pulang."

Bandung bangkit dan memeluk temannya itu. "Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu di sisiku. Jadi terima kasih untuk semua yang kau lakukan. Terima kasih kau sudah menjaga keseimbangan alam selama ratusan tahun ini. Sekarang kau bebas. Nikmati hidupmu."

Bidadara Jatuh itu kembali tersenyum, dia membalas pelukan Bandung. Dari Bandung dia banyak mempelajari sifat manusia. Benar, manusia itu serakah hingga rela melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka mau, untuk menemukan kebahagiaan. Manusia itu kotor, tapi juga makhluk paling bijak di bumi. Manusia adalah kerumitan semesta.

Berangkatlah pemuda yang dulunya Bidadara itu ke Timur, berpetualang melihat dunia. Sementara Bandung ke Selatan, menuju medan perang.

***

The Legend of PrambananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang