Bagian 6: Lahirnya Api Biru Ijen

133 15 0
                                    

Lahirnya Api Biru Ijen

Bandung Bondowoso turun dari burung tunggangannya. Dia memandang sebuah tapak tilas berbentuk stupa yang menjadi tapal batas antara Tujuh Kerajaan dengan hutan angker yang dikelilingi tiga gunung yang menjadi kerajaan para jin. Bandung mengambil nafas dalam. Ini mungkin akan menjadi akhir hidupnya.

Burung Bromodedali itu terus gelisah. Memekik resah sambil mengibaskan ekornya. Dia menolak masuk. Kini dia sendirian. Bandung memberanikan diri, memegang kuat gagang keris Mpu Ishwar di pinggangnya. Lalu melangkah masuk dengan mantap.

Dia terus berjalan makin dalam ke gelapnya hutan. Satu kilometer, dua kilo meter, tak ada yang aneh. Seperti hutan hujan tropis pada umumnya. Namun semakin dalam ia masuk hutan makin gelap dan mencekam. Bukan karena dedaunan menghalangi sinar matahari, tapi kabut gelap yang membawa udara dingin. Bandung terus berjalan entah ke arah mana, yang jelas tidak berputar-putar, karena dia akan langsung tahu jalan yang dilaluinya.

Semakin dalam ia masuk semakin aneh perasaannya. Hutan itu seolah menghipnotisnya. Dia sampai di mana pepohonan tak punya daun, hanya batang yang berdiri tegak dengan warnanya yang hitam. Akarnya mencuat ke permukaan tanah hingga membuat Bandung kesulitan berjalan. Bau anyir juga tercium sedari tadi.

Bandung merasakan kepalanya makin pening. Udara kabut itu seolah mencekik pernafasannya. Hingga tiba-tiba akar-akar pepohonan mulai bergerak. Lalu dengan cepat akar-akar itu melilit tubuh Bandung. Dia meronta ingin membebaskan diri, tapi akar itu sangatlah kuat.

Dia makin terdesak saat akar itu menggulung leher dan dadanya.Tangannya berusaha untuk meraih keris Mpu Iswar. Dengan susah payah akhirnya dia berhasil mencabut keris itu dari sarungnya dan mengacungkannya ke udara. Seketika cahaya suci bersinar terang dari keris itu. Akar-akar hutan takut akan sinar itu, dia akhirnya melepaskan Bandung. Bahkan kabut pun mundur.

Kesadarannya kini mulai kembali. Dia bisa melihat sebuah istana besar berdiri di puncak gunung Raung. Ia pun bergegas ke sana. Tak salah lagi, itu adalah istana para jin. Begitu pikir Bandung. Dia pun berlari mendaki gunung itu.

Dia akhirnya sampai di atas, sebuah gapura putih menyambutnya. Istana dengan kubah-kubah besar yang dibangun dari batu putih membuatnya bersinar saat matahari menerpa. Mendadak terdengar suara raungan macan. Bandung jadi was-was. Benar saja, sekawanan macan putih tiba-tiba mengepungnya. Macan itu mengerang, air liurnya menetes, dan cakarnya yang tajam siap menerkam.

Bandung memasang kuda-kuda beladirinya. Mendadak satu ekor meloncat hendak menerkamnya, dengan cepat dia melepaskan pukulan dentuman. Macan itu terlempar ke dinding gapura. Yang lain pun juga segera menyerangnya. Untung saja ilmu beladiri Bandung sangat tinggi hingga ia besa menghindari terkaman macan-macan itu dan memukulnya satu persatu.

Di tengah pertempuran hebat itu Bandung tak menyadari ada seutas tali yang dilempar padanya, karena tali itu adalah tali perak suci yang dipintal langsung oleh Dewa. Dengan cepat tali perak itu melilit tubuhnya hingga ia tak bisa bergerak. Bandung melihat ke atas gapura di mana tali itu berujung. Di sana sudah ada segerombolan manusia macan putih. Tampak indah namun menyeramkan.

Di seretlah Bandung ke istana putih itu.

Manusia macan itu membawa Bandung ke sebuah aula di bawah kubah besar dengan kuali yang menggantungkan api berwarna biru. Bunga edelweis menghias di sudut-sudut ruangan. Dinding bangunan itu sangat putih bersih yang berhias tulisan mantra kuno yang tak dapat Bandung mengerti. Sebuah singgahsana perak yang diduduki orang berjubah putih yang tudungnya menutupi sebagian wajahnya. Dengan tongkat putih di tangannya, ia sangat tenang dikelilingi para manusia macan.

"Bagaimana seorang manusia begitu lancang memasuki hutan Tiga Gunung ini? Kau cari mati rupanya, Nak," kata orang yang duduk di singgahsana itu.

Bandung yang dilempar ke lantai menjawab, "Aku datang kemari untuk menjadikan hutan gelap ini menjadi terang. Aku kemari untuk menumpas kejahatan. Aku kemari untuk membunuh raja kegelapan, Raja Jin Bondowoso. Siapa kau? Kau tidak tampat seperti raja kegelapan."

The Legend of PrambananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang