Bagian 4: Kisah Cinta Ksatria Hudoq

168 20 0
                                    

Sebelum ayam berkokok Roro Jongrang sudah bangun dan bersiap untuk melakukan puja pagi. Dibantu dayang dia menyisir rambut panjangnya, mengenakan kebaya putih berlapis dengan selendang yang menjuntai panjang. Saat itulah dengar kabar tentang Bandung Bondowoso yang akan meninggalkan Prambanan untuk menjalankan tugas kepantasannya. Ingin sekali dia menemui Bandung, tapi ayahnya melarang. Segala cara sudah ia lakukan untuk menghentikannya, tapi tetap saja Baka keras batu. Jadi dia hanya bisa melihat dari balkon kamarnya, memandang sedih Bandung yang bersiap-siap akan pergi.

Bandung mendongak menatap kamar Roro. Mereka saling memandang resah. Seolah bicara lewat telepati hati, tentang janji-janji manis yang mereka buat. Bandung lalu memberikan penghormatan terakhirnya pada sang Puteri, dia berlutut sangat dalam. Meninggal segala janji pada Roro. Setelah itu dia menaiki burung Bromodedalinya dan terbang ke ufuk timur menuju matahari terbit yang melankolis. Roro hanya bisa memandang kepergian pemuda yang dia kagumi itu.

Bandung juga berpikir sama. Hatinya sangat berat meninggalkan Prambanan. Dia akan merindukan kecantikan Roro yang sudah menjadi rumahnya.

Sementara di ruang singgahsana terjadi perbincangan kecil antara Baka dan Patihnya. "Mengapa anda menyerahkan keris sakti itu padanya, Baginda?" tanya Patih Gupala.

Baka menyandarkan punggung besarnya ke singgahsana. "Dia adalah pemiliknya. Keris itu tak akan sakti di tangan oranglain. Para Dewa memberikan keris itu pada leluhurnya, bukan padaku. Jika Bandung berhasil menjalankan tugasnya, maka dia akan sepenuhnya percaya padaku. Dengan itu akan kugunakan dia untuk balas dendam ke bapaknya."

"Bahkan leluhurnya yang menyatukan Tujuh Kerajaan tidak bisa menakhlukan hutan ujung timur Jawa. Tugas itu adalah bunuh diri."

"Maka itu akan sangat menguntungkan. Akan kukirim lontar(surat) ke Damar Maya tentang apa yang terjadi. Akan kutunggangi nagaku ke Kalimantan dan membakar habis Damar Maya dan semua pengikutnya."

Walau sudah enam belas tahun, tapi dendam itu tak pernah berkurang sedikit pun. Hati keduanya sudah membatu.

***

Jauh di seberang laut Jawa. Damar Maya kehabisan cara untuk meyakinkan orang-orang Kutai untuk membantunya merebut kembali tahta raja tertinggi Jawa. Hari demi hari berlalu lagi, berhasil atau tidak, siklus waktu terus berlalu.

Pada suatu malam yang mencekam, dimana bulan berdarah, terjadi peristiwa besar. Desa sunyi senyap, semua pintu dan jendela tertutup rapat, obor penerangan tak dinyalakan.

"Bulan itu sangat menakutkan," gumam Damar Maya.

"Mengapa sangat sunyi, dan tak ada satu penerangan pun di desa?" Baswara juga bertanya-tanya.

"Tutup jendelanya." Tiba-tiba salah satu Dewan Suku masuk ke ruangan. "Ini adalah malam keramat. Sungai-sungai akan pasang untuk melepaskan makhluk jahat. Suruh prajuritmu untuk tetap waspada dan tidak berkeliaran. Dan segeralah ke kuil Agung dimana para dewan dan keluarganya berkumpul. Semoga malam ini kita selamat."

Peringatan itu tidaklah main-main. Segeralah Baswara memerintahkan semua pasukannya untuk waspada.

Malam makin dingin. Tak ada bunyi serangga yang biasa bernyanyi. Malam seolah ikut ketakutan. Damar Maya ada di dalam kuil Agung bersama para Dewan dan keluarganya. Para wanita berdoa sepanjang malam. Tiba-tiba Damar Maya melihat cahaya merah bergerak dari sela-sela dinding kayu. Dikiranya itu adalah prajuritnya yang bandel menyalakan api. Lantas dia membuka jendela. Ternyata itu bukanlah api obor, itu adalah suluh (di Jawa disebut banas pati), hantu berwujud bola api.

"Tutup kembali jendelanya!" seru seorang Dewan yang tertua.

Terlambat. Bola api itu melesat cepat masuk ke dalam kuil. Para wanita menjerit ketakutan. Kedelapan Dewan segera membentuk lingkarang, lalu merapalkan mantra-mantra kuno. Lukisan tato di tubuh para Dewan bersinar. Kekuatan telah dialirkan. Api itu menjerit. Baranya bergururan.

The Legend of PrambananWhere stories live. Discover now