Bagian 11: Jalan Takdir

148 14 0
                                    

JALAN TAKDIR

Damar Maya menyusuri jalanan yang hangus itu. Reruntuhan kota seperti batu-batu besar masih menghalangi jalan selama beberapa belas tahun ini. Damar Maya berhenti di depan gapura yang sudah hancur. Perasaan kalut menyelimutinya. Dia kembali berjalan melewati gapura yang lebih mirip dua tumpukan batu batu itu. Hatinya makin perih saat ia melihat istana besar nan indahnya benar-benar luluh lantah tak tersisa. Sejuta kenangan melintas dengan cepat.

Walau warga sudah membangun kembali ibukota Pengging itu, tapi kehancuran dan bukti kekalahan itu ada di mana-mana. Kerajaan yang dijaga leluhurnya selama ratusan tahun hancur di masa pemerintahannya. Ironis.

Damar Maya menatap sekeliling dengan sedih. Menara-menara tinggi sudah tak ada lagi. Aula besar ruang tahta sudah luluh dengan tanah. Sembilan belas tahun lalu, tepat di tempatnya berdiri saat ini, dia melihat prajuritnya dibantai. Dia kualahan melawan Patih Prambanan, Gupala. Melihat menara dimana isterinya bersalin di bakar oleh Baka.

Damar Maya makin hancur saat mengingat isteri dan putranya yang bahkan belum lahir dibakar hidup-hidup. Dia makin benci dengan Baka tiap kali mengingatnya. Dendam itu sudah menggunung selama belasan tahun.

"Baginda!" seru Baswara menghampiri. "Di gerbang kota ada seorang penunggang kuda membawa panji Prambanan."

"Apa? Beraninya dia!"

Bergegaslah mereka ke gerbang kota.

***

Siang itu Roro duduk memandang kosong arena latihan yang dipenuhi prajurit yang sedang berlatih memanah. Dalam kondisi seperti ini bagaimana dia bisa membatik seperti biasa? Orang yang paling dicintainya pergi meninggalkannya. Mencampakkannya.

"Mengapa seorang gadis duduk melamun di arena berlatih?" Pangeran dari Adya tiba-tiba muncul.

Roro meliriknya sekilas. "Kau tinggal lebih lama dari dugaanku. Para Pangeran dan semua Ksatria sudah lama meninggalkan Prambanan."

Pangeran Adya itu duduk di sebelah Roro. "Kita adalah tunangan sekarang. Tentu saja aku ada di sini... untuk menjagamu."

"Aku tidak pernah bilang iya pada perjodohan bodoh ini," ucap Roro kecut.

"Kau tidak bisa menolak. Damar Maya dan pasukannya sudah sampai di Pengging. Kau butuh semua prajurit untuk melawannya. Aku tahu ini hanyalah perjodohan politik, tapi aku akan menjagamu dengan baik."

"Aku tidak butuh perlindunganmu." Roro berdiri, dan melangkah pergi.

"Perang besar akan datang!" seru Pangeran Adya menahan Roro. "Kau membutuhkanku."

***

Bandung dengan gagah di atas kudanya membawa tombak berpanji Prambanan, menatap lurus ke gerbang kota yang dipenuhi prajurit dan orang-orang Kalimantan dengan topi burung dan tato mistisnya. Tiba-tiba barisan itu terbuka dan semua orang menunduk memberi hormat. Pastilah dia Damar Maya.

"Wahai, Penunggang Kuda Prambanan!" Baswara berseru lantang. "Apa tujuanmu kemari? Kalau kau mau memata-matai kami maka matilah kau. Jika datang sebagai utusan mendekatlah dan tak akan ada yang menyakitimu sesuai hukum perang."

"Aku datang bukan untuk keduanya," Bandung juga berseru lantang. "Aku adalah ksatria Piningit yang diangkat langsung oleh Baka, Raja Tujuh Kerajaan. Sudah tugasku untuk melindungi tanah Jawa. Jadi pergilah kalian sebelum aku menghukum Pengging."

Semua orang tertawa mendengarnya. Bukankah terlihat bodoh, seorang penunggang kuda berani mengusir ribuan pasukan hebat di tanah Jawa?

"Ternyata dia hanyalah orang gila, Baginda. Harus diapakan orang ini?" kata Baswara pada rajanya.

The Legend of PrambananWhere stories live. Discover now