14.

10.3K 1.1K 60
                                    


..

Eric menggenggam jemari-jemari kecil sang adik yang terasa dingin, sudah beberapa jam berlalu, namun Mora belum juga bangun dari pingsannya.

Eric sibuk menerka-nerka, kira-kira apa yang bisa membuat Adiknya ini bisa jatuh tak sadarkan diri, bahkan sang Papa juga ikut bingung.

Meski keempat anggota keluarga Mora tengah di liputi rasa marah akan kejadian di sekolah yang sudah di ceritakan oleh Mora sendiri, Mereka masih waras untuk menemani Mora dan lebih mendahulukan mengobati rasa khawatirnya.

Eric menundukkan kepalanya, mengecupi punggung tangan Mora yang tertanam infus di aliran vena nya.

"Adek.. jangan lama-lama tidurnya.." keluh Eric, ia lebih suka melihat Mora bermain dengan segumpul Katak itu dari pada melihat Adik berharganya terbaring pucat di ranjang rumah sakit.

Eric menoleh, mendapati Bara baru saja masuk ke dalam ruangan, membawa beberapa buah apel dan tangerine.

"Ngga ada prediksi bangun kapan Ric?" Eric memutar bola matanya lelah.

"Ngga tau ... Dokter ngga bilang apa-apa." Bara duduk di sofa yang sudah tersedia di ruang khusus perawatan milik Mora, Bara rindu Adiknya.

"Lu cabut gih, makan dulu, kata Sora lo belom makan." kata Bara.

Eric menggeleng, lalu melepas tautan tangan, dan meraih botol mineral di atas nakas.

"Ngga nafsu makan." jelasnya.

Memang kenyataannya begitu, Eric bahkan tak minat untuk sekedar memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Nafasnya berhembus, tangannya terangkat, jemarinya terulur, menyentuh, dan mengusap-usap helaian rambut yang terasa begitu lembab akibat tak mengeringkan rambutnya dengan benar.

Detik demi detik berlalu, "Bar." panggilnya.

"gue mau ke toilet bentar." ucapnya, tangannya masih bertaut pada genggaman Mora.

Bara mengangguk, dan segera mendekat untuk menggantikan posisi Eric di sebelah Mora.

"Yaudah sana." suruhnya ketika mendapati Eric malah kembali terduduk.

"Jadi ngga? Elah." Eric meliriknya.

"Adek?" Bara melotot, deretan bulu mata itu bergerak perlahan, dan akhirnya, netra legam itu terbuka.

Bara tersenyum senang. "Adek."

"Denger suara Kakak ngga?" Mora mengalihkan pandangannya, lantas melirik punggung tangannya yang terasa kebas.

"Bambang sama Anjing mana?" Bara tersenyum, terpaksa. Begitu juga dengan Eric.

..


Adiba menatap gedung tempat Mora besekolah sendu, rasanya sulit sekali untuk hidup damai, padahal ia hanya ingin hidup berdua saja dengan Anak itu.

Ia tak ingin lebih, tapi Elon dengan kejamnya merampas haknya, mau di bawa ke ranah hukum pun.

Adiba tidak mampu- sekarang ia sebatang kara, keluarganya bangkrut, begitupun dengan dirinya sendiri yang hanya karyawan kantor.

Di dalam mobil satu-satunya yang ia punya, Adiba menyenderkan tubuhnya, apa Mora bahagia sekarang?

Ia ingin Mora nya kembali padanya, ia ingin menghabiskan waktunya untuk Mora saja.

Tapi takdir tak mengijinkannya untuk sekedar bahagia.

Adiba memegang kendali setirnya, lalu hendak pergi meninggalkan gedung sekolah itu, tangan yang hendak memutar kemudi itu mendadak berhenti, netranya tanpa sadar mengamati 1 siswa yang jalannya tengah terpincang-pincang.

Unfolding [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang