1. Cahaya Terang

92 4 0
                                    

Tawa keras menggema di sebuah ruangan. Menyaingi musik yang menjadi penambah ramainya suasana di tempat itu. Terlihat sekumpulan lelaki menikmati waktu mereka. Saling bertukar cerita sekaligus berbagi tawa. Pun begitu dengan seorang pemuda berpenampilan santai. Tampilannya sedikit mencolok dibandingkan yang lain. Di mana ia mengenakan kaus, celana training, lengkap dengan sandal jepitnya.

Pemuda berpenampilan santai itu melihat pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Bro, aku pulang duluan," serunya seraya mengangkat tangan.

"Cepat amat lo balik, Bro. Baru juga jam segini. Lagian, kita udah lama banget gak kumpul-kumpul kaya gini. Entaran aja lo pulangnya, Tang," sahut salah seorang pemuda yang mengenakan jaket kulit.

"Aku udah bilang gak bisa lama-lama kumpul bareng kalian," cetus pemuda itu lagi bersikukuh meninggalkan teman-temannya.

"Ya, elah, Bintang. Santai aja napa. Kaya anak gadis aja lo, pulangnya gak boleh larut-larut," cetus seorang pemuda berambut panjang disertai tawa.

Pemuda berpenampilan sederhana dan santai bernama Bintang itu kembali melihat pada arlojinya. "Ya udah, sejam lagi. Aku tetap akan pulang setelah sejam, meskipun kalian gak bolehin pulang," katanya kembali mendudukkan diri ke tempat semula.

Penuturan Bintang seketika disambut riuh oleh teman-temannya. Mereka telah saling mengenal sejak zaman SMA dan hari ini, mereka memutuskan bertemu satu sama lain. Mempererat tali silaturahmi yang sempat tenggang dikarenakan kesibukan. Yah, hanya itu tujuan mereka berkumpul dan bersenang-senang malam ini.

Waktu begitu cepat berlalu. Satu jam yang dijanjikan Bintang telah datang menjemput. Memintanya menepati janji yang sempat terucap. Tanpa basa-basi lagi, Bintang pamit tanpa menunggu persetujuan dari teman-temannya. Ia memang seperti itu. Selalu menepati janji.

Jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas. Bintang bergegas membawa motornya membelah jalanan. Ia sudah tidak sabar sampai ke rumah dan beristirahat di ranjang empuknya. Setiap kali pergi, entah mengapa Bintang akan selalu teringat dengan rumah. Ia begitu rindu pada keluarganya di mana pun dan kapanpun.

"Langitnya begitu cerah," gumam Bintang setelah sedikit mendongak pada langit malam yang setiap saat sukses menghipnotis pandangan mata siapa saja yang mengarah padanya. Menikmati keindahan malam yang tergambar di langit.

Bintang kembali mengarahkan pandangan matanya pada jalanan luas  di hadapan. Jalanan itu sepi, tetapi meskipun begitu, ia tidak akan ceroboh dan menganggap remeh. Banyak kecelakaan terjadi dikabarkan si pengendara menganggap remeh jalanan sepi. Di mana hal tersebut membuatnya berani bersikap ugal-ugalan di jalanan tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri, apalagi orang lain.

Menempuh lima belas menit perjalanan, Bintang akhirnya tiba di istana kecilnya. Istana yang diliputi segala cerita dan kenangan. Setidaknya itulah yang ada di benak Bintang selama ini. Namun, kali ini ia tidak bisa berpikir demikian. Lebih tepatnya ia tidak lagi bisa berpikir.

Malam itu, ada sebuah cahaya besar yang menghiasi malam. Cahaya yang tidak pernah diharapkan hadirnya oleh siapa pun, termasuk Bintang. Pekarangan rumah Bintang malam ini dipadati banyak sekali orang yang sibuk ke sana ke mari. Tujuannya tidak lain ialah meredam cahaya terang itu.

Tanpa basa-basi lagi, Bintang menggerakkan kakinya cepat. Namun, langkahnya terhenti saat seorang pria paruh baya menarik lengannya. "Jangan masuk, Mas. Apinya sangat besar," katanya memperingatkan.

"Maksudnya apa, Pak? Keluarga saya bagaimana? Apakah mereka sudah selamat atau masih berada di dalam?" Bintang membombardir pria itu dengan banyak pertanyaan.

"Sampai sekarang kita menunggu kedatangan pemadam kebakaran. Kemungkinan besar keluargamu masih berada di dalam," jawab pria itu sendu. Ia ikut prihatin dengan musibah yang menimpa Bintang dan keluarganya.

Bintang berdecak kesal lalu berlari memasuki rumah. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang memintanya tidak nekat masuk. Apalagi dengan api yang berkobar besar dan melalap hampir setengah bangunan rumah. Bintang tidak peduli dengan keadaan sekitar, kecuali pada keluarganya.

Asap menyeruak masuk ke indera penciuman Bintang. Meskipun begitu, ia tidak akan menyerah demi menemukan keluarganya. Berharap mereka dalam keadaan baik-baik saja. Akan tetapi, rumah itu sudah terbakar banyak. Reruntuhan bangunan dan asap yang semakin tebal membuat dada Bintang mulai sesak.

"Mas, di sini terlalu berbahaya. Serahkan semuanya pada kami," cetus seorang pria dengan pakaian lengkap yang melekat di tubuhnya.

Bintang mengarahkan netranya pada si pembicara. "Enggak, Mas. Saya mau  mencari keluarga saya," jawabnya.

"Terlalu berbahaya, Mas. Serahkan pada petugas. Kami akan selamatkan korban yang ada di rumah ini."

Bintang dibawa paksa oleh petugas pemadam kebakaran meninggalkan rumahnya. Perlahan tetapi pasti, api berhasil dipadamkan. Bintang yang menunggu dengan cemas menghampiri mobil yang mengevakuasi orang tuanya.

"Bagaimana keadaan orang tua saya?" tanyanya pada seorang pria setelah berhasil mengevakuasi orang tuanya.

"Mereka kehabisan oksigen dan harus segera dibawa ke rumah sakit," jawab pria tersebut.

Bersama mobil ambulan yang telah disiagakan di lokasi kejadian, Bintang ikut bersama keluarganya ke rumah sakit. Ayah, ibu serta adiknya dalam keadaan sangat lemah dan membutuhkan penanganan dari dokter secepat mungkin.

"Ya Allah, selamatkanlah keluarga hamba." Bintang berdoa penuh harap.

Seorang wanita berhijab berjalan cepat menghampiri Bintang yang sibuk mondar-mandir di depan lorong ruang rawat pasien. "Bintang, bagaimana keadaan keluargamu? Mereka baik-baik saja, kan?" tanyanya cemas.

Sekilas Bintang melirik pada wanita itu. "Aku gak tahu, Cahaya. Sampai sekarang mereka masih ditangani oleh dokter," jawabnya lemas.

"Kamu yang sabar, Bintang. Mereka pasti baik-baik saja," kata wanita bernama Cahaya itu yang dibalas anggukan dari Bintang.

Harapannya memang seperti itu. Namun, Bintang harus menelan pil yang sangat pahit. Ucapan dari dokter bagaikan petir yang menyambarnya di tengah-tengah langit malam cerah tanpa hadirnya hujan.

"Katakan pada saya apa yang dokter katakan barusan bohong? Dokter bercanda, kan?" Bintang bertanya dengan mata berkaca-kaca.

Dokter itu menggeleng. "Sebagai seorang dokter, saya tidak mungkin menyampaikan kebohongan. Sekali lagi, saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian kedua orang tua Mas Bintang."

"Semua ini salah dokter yang tidak bisa bekerja dengan baik!" cetus Bintang emosi.

"Perihal kematian, tidak ada yang mengetahuinya, termasuk saya. Sekali lagi, saya mengucapkan belasungkawa yang teramat dalam. Saya dan tim medis telah berusaha sebaik mungkin, tetapi Allah berkehendak lain. Saya permisi."

Bintang menatap kepergian dokter itu dalam diam. Reaksi apa yang saat ini harus ditunjukkannya? Ia bahkan tidak tahu. Air matanya terasa kering dan tubuhnya seketika kaku di tempat.

"Turut berdukacita atas kepergian orang tuamu, ya, Bintang. Tidak ada siapa pun yang menginginkan hal ini terjadi. Kamu pasti bisa melewati musibah ini," cetus Cahaya lembut.

"Kamu yakin, tetapi aku gak yakin bisa melewati semua ini sendirian," sahut Bintang tanpa menatap lawan bicaranya.

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now