20

61 13 0
                                    

Grisha menyibak tirai, dua pramuniaga membantunya. Sosok Dreesen berdiri di sana dengan pandangan lurus padanya. Pria itu berkaca-kaca menatapnya. Kedua tangannya lurus ke depan, meminta Grisha datang mendekat.

"Gaunnya berat, harusnya kau yang datang."

Dreesen mengulum senyuman. Dia berjalan dan akhirnya berdiri di hadapan gadis itu yang berdiri di atas panggung kecil. Dreesen sedikit mendongak untuk mensejajarkan pandangan mereka.

Tatapan Grisha jatuh pada mata cerah itu. Dia mengusap kelopak mata Dreesen dengan tangannya yang sudah dilapisi sarung tangan putih. "Aku tidak menemukanmu berwajah seperti ini saat dulu aku mencoba gaun pertamaku."

"Itu bukan pengantiku. Yang ini, pengantinku." Tangan Dreesen ada di pinggang Grisha. "Bagaimana, kau suka gaunnya?"

"Kau yang seharusnya memberikan pendapat. Apa kau suka gaunnya?"

"Bagaimana aku mengatakannya ...."

"Tidak suka?"

"Kau memakai apa pun, aku akan menyukainya. Jadi, aku tidak dapat tahu apakah gaun ini yang terbaik atau gaun lainnya. Karena apa pun yang kau kenakan, aku sungguh menyukainya. Ah, aku juga paling suka kau tidak mengenakan apa pun."

Grisha memerah. Dia menatap ke belakang dan menemukan dua pramuniaga itu menutup wajah mereka dengan tangan. Mereka mendengar yang dikatakan Dreesen. Pria itu mengatakannya dengan keras.

Sebal, Grisha memukul bahu Dreesen. "Kau membuat aku malu."

"Kenapa harus malu. Yang mengatakannya adalah suamimu. Kau harusnya bangga, aku memberitahu mereka kalau tubuhmu sangat indah, itu makanya aku menyukainya."

"Oh, hentikan."

Dreesen mengangkat kedua tangannya. "Aku akan berhenti. Dan gaun ini bagus. Tidak usah mencoba yang lain, aku tetap akan suka kau memilih yang mana pun. Jadi, lebih baik memutuskan pilihan pada gaun pertama. Bagaimana?"

Grisha mengangguk kuat. "Aku setuju."

"Mau aku membantumu menggantinya?"

Grisha memutar tubuhnya, mengabaikan Dreesen. Meladeninya hanya akan membuat Grisha sakit kepala. Dreesen selalu mampu menang berdebat dengannya. Dua pramuniaga menutup tirai dengan perlahan. Dreesen masih menatap lewah celah tirai sampai kain itu benar-benar tertutup sempurna.

Dreesen mendesah dengan senyuman terbit cerah di bibirnya. Dia sungguh tidak dapat mengendalikan diri sesaat tadi. Bisa dikatakan dia hampir menerkam Grisha. Perempuan itu memberikan cara yang buruk bagi Dreesen untuk bertindak.

"Ayah terlambat?"

Dreesen memutar tubuh. Medwin di sana berdiri dengan ragu. Dia menatap sekitar dan mulai yakin kalau dia memang terlambat.

"Dia sungguh sudah masuk? Bagaimana dengan gaunnya?"

"Cantik, Ayah. Sangat indah sampai kau akan terpukau melihatnya."

Medwin menatap tirai tertutup itu.

"Kalau ayah mau melihatnya, aku akan memintanya memakainya lagi."

"Tidak." Tangan Medwin bergerak menolak. "Ayah akan melihatnya di hari pernikahan kalian nanti. Tidak perlu terburu-buru."

"Baik kalau begitu."

"Ayah mau bicara padamu, kau mau keluar sebentar?"

Dreesen mengangguk. Dia mengikuti langkah ayah mertuanya dan mereka menuju ke bagian depan ruangan. Di sana ada kursi dua dan meja bulat di tengahnya. Mereka duduk di sana berhadapan.

"Ini soal kau yang ingin mengganti nama belakangmu. Ayah mendengarnya dari Grisha, ayah harap kau tidak keberatan karena Grisha mengatakannya pada ayah. Dia hanya khawatir soal apa yang bisa terjadi padamu."

"Aku tidak masalah, Ayah. Cepat atau lambat semua orang akan tahu, jadi, tidak masalah bagiku. Dan aku memang sedang mengurus dokumennya."

"Kau yakin akan melakukannya?"

"Sangat yakin. Aku tidak mau istriku khawatir soal pemukulan yang sering dilakukan ayahku. Aku tidak mau dia melihatnya dan merasa buruk karenanya. Aku harus melindungi perasaannya."

"Dokumen itu membutuhkan tanda tangan ayahmu. Dia akan memberikan tanda tangannya?"

"Dia akan memberikannya. Aku tahu bagaimana cara membuatnya memberikannya."

Medwin mengangguk paham.

Terpaksa Menikah Onde histórias criam vida. Descubra agora