17

58 16 0
                                    

Mobil sudah berhenti. Dreesen membuka sabuk pengamannya. Dia menatap istrinya yang tampak lebih cemas dari sebelumnya. Ketakutan Grisha mengusik Dreesen.

Dia meraih bahu perempuan itu. Grisha menatapnya. "Ada apa?"

"Aku tidak mau ada yang menyakitimu."

Dreesen yang mendengarnya tersenyum dengan lembut. Dia menarik istrinya masuk ke pelukannya. "Tidak akan kubiarkan siapa pun menyakitiku. Kau percaya padaku, kan?"

"Aku percaya. Hanya—"

"Berhenti di sana. Aku percaya, itu cukup."

Grisha menarik dirinya. Dia coba memperhatikan Dreesen dengan seksama. Dia melihat bagaimana wajah itu lebih tampan dari biasanya. Setiap melihat Dreesen sekarang, jantung Grisha melonjak lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa dia tidak pernah menyadarinya dulu.

"Sudah puas melihatku?"

Grisha menempelkan telapaknya di pipi pria itu, dia mendorong tangannya dengan gemas. "Aku tidak melihatmu."

"Benarkah?"

Suara ketukan di kaca mobil menarik perhatikan keduanya. Mereka menatap keluar dan menemukan Medwin di sana. menunggu mereka dengan tidak sabar, sepertinya ada yang hendak dia sampaikan.

Keduanya keluar dan berdiri bersisian.

"Rupert rupanya juga ada di dalam. Dia baru saja tiba. Ayahnya mengajaknya makan malam bersama untuk mendiskusikan soal pernikahan. Ini saat yang tepat untuk memberitahu mereka," ucap ayahnya.

"Bukankah itu akan menjadi pukulan yang tidak menyenangkan?" tanya Grisha.

"Menunda bukan jawabannya. Bagaimana pun, kau tetap harus menghadapinya. Jadi, persiapkan dirimu."

Grisha akhirnya hanya memberikan anggukan pada ayahnya. Toh dia memang tidak memiliki pilihan sekarang. Dia harus mengatakannya karena berita ini bukan berita yang bisa mereka tunda.

Keduanya berjalan mengikuti ayah Grisha. Mereka melangkah dengan beberapa pandangan yang saling mereka curiga. Dreesen begitu tenang, hingga rasanya Grisha sendiri yang gelisah tidak karuan.

Tiba di dalam restoran seorang pelayan menyambut mereka.

"Untuk berapa orang, Tuan?" tanya pelayan dengan ramah. Kedua tangan ada di depan tubuh. Senyuman manis terukir tipis.

"Sudah pesan tempat."

"Atas nama bapak Jakob?" tanya pelayan itu memastikan.

Medwin mengangguk.

"Silakan, Tuan. Bapak Jakob sudah menunggu anda."

Pelayan membawa mereka ke lift. Mereka masuk dan pelayan menekan angka empat. Lift bergerak naik. Tidak lama mereka sampai di lantai empat dan pelayan membawa mereka ke ujung. Pintu dengan dua daun pintu tertutup. Pelayan mengetuk. Setelah ada sahutan dari dalam, pelayan membuka pintu. Dia berdiri di ambang pintu.

"Tamu anda sudah datang, Mr. Jakob."

Medwin muncul di dekat pelayan. Pierce Jakob berdiri menyambut dengan senyuman lebar. Tapi senyuman itu segera menghilang saat dia melihat siapa yang ikut bersama Medwin di belakangnya.

Pierce tidak percaya menemukan putranya di sana.

"Medwin, kau bersama Dreesen?"

"Dia datang ke rumahku. Jadi, aku membawanya ikut denganku untuk pertemuan ini."

Rupert juga berdiri. Dia menatap Grisha. "Kau sungguh sudah kembali?" ucap pria itu tidak percaya. "Mereka mengatakan rumor yang menyebalkan di perusahaan, Apa aku mendengar dengan benar?"

Grisha maju satu langkah. "Rumor apa?"

Rupert menatap keduanya. Dia menatap ke tangan mereka. Tidak ditemukannya tangan itu bertaut. Rupert coba bersikap positif. Dia menggeleng tidak ingin mempercayai rumor. "Hanya rumor yang tidak enak untuk didengar. Kau sudah pulang, itu yang terpenting."

Pierce mempersilakan Medwin untuk duduk di sebelahnya. Medwin melakukannya.

Dreesen sendiri bergerak ke arah kursi, dia menarik kursi itu dan mempersilakan Grisha duduk. Gadis itu mendekat dan duduk di kursi yang sudah disediakan Dreesen. Grisha menatap suaminya lembut.

"Kau tidak perlu melakukannya. Aku bisa menarik kursiku sendiri."

"Sudah seharusnya."

Rupert yang melihat hanya menatap tidak mengerti. "Apa ini hanya pengelihatanku yang salah atau kalian jadi intim?"

Grisha menatap Rupert. "Kau tidak salah melihat."

Terpaksa Menikah Where stories live. Discover now