3

240 44 2
                                    

Grisha membuka mantelnya. Dia menggantung mantel itu di belakang pintu. Dengan desahan kuat, dia jatuh ke ranjangnya. Dia terlentang di sana dengan kedua tangan terbuka lebar. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamarnya.

Matanya yang terpejam menunjukkan betapa hebatnya dia dalam memperhatikan Dreesen dan segala sikapnya beberapa jam yang lalu.

Kemarahan pria itu. jengkelnya dia dan bagaimana Dreesen pergi tanpa sepatah kata. Bahkan Dreesen langsung keluar dari rumah dan tidak lagi pulang bahkan meski Grisha coba berlama-lama di sana.

Kenapa Dreesen begitu marah? Apa yang begitu dibenci pria itu? Apakah Dreesen tidak suka Grisha menjadi salah satu anggota Jakob? Dreesen tidak mau menerimanya?

Memikirkannya begitu gadis itu sakit kepala.

"Dreesen tampaknya tidak suka padaku, Rupert."

"Apa?"

"Dia tidak pergi begitu saja. Dia marah."

"Dan kenapa kau harus peduli? Dia hanya anak pelacur yang tidak sengaja berhasil menggoda ayahku. Apa kau mengerti sekarang apa yang kau khawatirkan?"

"Aku hanya—"

Kedua tangan Rupert menyentuh bahu Grisha. "Dengar, kau hanya perlu berdiri di sisiku. Ayah suka padamu. Kami menerimamu. Dia bukan masalah. Jadi, tetaplah seperti itu. Jangan memikirkannya."

"Baiklah."

Grisha memejamkan membuka matanya. Suara ketukan di pintunya menginterupsi buah pemikirannya.

Gadis itu bangun dan coba menata dirinya sendiri. "Masuk."

Pintu terbuka. Ayahnya di sana dengan senyuman khas seorang ayah yang menatap putri kebanggaannya. "Bisa bicara?"

Grisha mengangguk. "Masuk. Ayah."

Ayahnya melenggang masuk. Duduk di sebelah putrinya dengan mata menatap anak gadis satu-satunya itu. "Ayah ingin membahas soal pernikahanmu."

"Ayah bahagia aku akan menikah?"

Ayahnya menatap lembut. Dia menyentuh pipi anak gadisnya. "Kau yakin dengan pernikahan ini?"

Mendengar pertanyaan ayahnya, Grisha tampak bingung. "Tentu, Ayah. Tentu saja aku yakin."

"Ayah takut kau terburu-buru memutuskan karena kau berpikir ayah akan bahagia dengan pernikahanmu."

"Ayah tidak suka dengan Rupert?"

"Tentu saja suka. Dia anak baik dan dia memperhatikanmu. Dia adalah pilihan terbaik, apalagi ayahnya adalah kolega ayah."

"Lalu apa yang tampaknya membebanimu, Ayah?"

"Kebahagiaanmu."

"Hah?"

"Ayah hanya mau kau menikah karena kau benar-benar merasa perlu menikah. Bukan karena ayah atau orang lain, melainkan untuk dirimu sendiri. Ayah mau kau mendapatkan pria terbaik, pria yang mencintaimu dengan tulus dan juga kau cintai. Pria seperti itu akan membuat ayah tenang melepaskanmu."

"Aku mencintai Rupert, Ayah."

"Ayah tahu. Ayah hanya khawatir saja. Mungkin karena untuk pertama kalinya ayah memikirkannya. Soal kau yang akan menjadi istri orang lain dan tidak akan berada di sini lagi untukku."

Grisha memeluk ayahnya dengan erat. "Ayah, aku akan tetap berada di sisimu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Meski aku sudah menjadi istri Rupert, aku akan rajin mendatangimu dan menemanimu. Jangan khawatir."

"Aku hanya mau kau bahagia, Putriku."

"Aku akan bahagia, Ayah. Aku sungguh akan bahagia."

Pelukan Grisha berbalas. Mereka berpelukan cukup lama dan ayahnya melepaskannya kemudian.

"Ada yang ingin ayah katakan soal perusahaan, Grisha. Tapi tampaknya bukan sekarang saat yang tepat."

"Ayah bisa mengatakannya ...."

"Nanti saja. Sekarang kau lebih baik mandi dan segera tidur. Jangan tidur terlalu malam. Meski sedang bahagia, tubuh tetap butuh istirahat. Mengerti?"

Grisha mengangguk paham.

Ayahnya kemudian meninggalkannya. Grisha mendesah menatap ke arah pintu. Sepertinya ada yang begitu mengganggu perasaan ayahnya. Tapi Grisha tahu kalau dia tidak akan bisa memaksa ayahnya mengatakan kekhawatiran ayahnya. Karena kalau ayahnya memutuskan tidak akan mengatakannya, maka ayahnya tidak akan pernah bicara.

Akhirnya Grisha masuk ke kamar mandi dan mulai menyalakan shower. Malam ini sungguh banyak yang mengganggu pikirannya. Yang paling mengganggu adalah ekspresi Dreesen.


Terpaksa Menikah Where stories live. Discover now