5

314 42 3
                                    

"Tuan tidak bisa datang untuk melihat anda memakai gaun pengantin anda, Nona. Tuan sudah menghubungi saya dan menyatakan permintaan maafnya."

Grisha yang sedang berdiri di depan cermin besar itu merasakan ketidakpuasan mendengar pernyataan asisten perempuan dari Rupert. Pria itu tidak datang lagi.

Banyak hal yang dilewati Rupert di acara menjelang pernikahan mereka. Seperti memilih cincin pernikahan, gaun, juga gedung yang akan mereka pakai sebagai tempat pesta mereka. Rupert seolah menggampangkan segalanya.

Pria itu hanya terus mengatakan, kalau dia memiliki urusan yang penting. Segala urusannya penting kecuali bersama dengan Grisha dan melakukan hal yang harusnya mereka lakukan bersama.

"Aku akan memilih gaunnya sendiri. Dia memang tidak perlu datang. Aku tidak membutuhkannya."

"Anda jangan marah, Nona. Tuan akan menebusnya dengan mengajak anda makan malam di tempat anda dan tuan pertama kali bertemu."

"Katakan padanya, aku akan makan sendiri. Aku tidak butuh makan dengannya."

"Tapi, Nona ...."

Grisha meninggalkan asisten itu dan masuk ke ruang ganti. Dia dibantu oleh dua pramuniaga memasang gaun itu di tubuhnya. Pandangannya lurus ke arah kaca. Menatap dirinya yang tampak menyedihkan.

Entalah, Grisha sudah tidak mengerti lagi. Apa yang begitu penting bagi Rupert sampai dia melewatkan banyak hal di acara menjelang pernikahan mereka. Saat mereka harusnya lebih sering bersama, Rupert malah lebih sering meninggalkannya. Itu membuat Grisha menjadi lebih kesepian dari sebelumnya.

"Bagaimana, Nona? Anda merasa ada yang terlalu ketat atau longgar?"

Grisha coba merasakan gaun itu, dia menggeleng. "Sudah pas. Cantik. Sesuai dengan yang aku inginkan."

"Baguslah, Nona. Calon suami anda menunggu untuk melihat penampilan anda yang sempurna."

"Hah? Calon suami?" tanya Grisha ragu. Bukankah Rupert sudah mengatakan kalau dia tidak bisa datang. Dan juga, Rupert bukan orang yang akan memberikan kejutan dengan tiba-tiba berada di tempat ini.

Saat tirai dibuka, gadis itu terhenyak. Seperti yang dia dugakan, memang bukan Rupert yang ada di sana. Seseorang sudah berdiri dan menatap kagum padanya. Orang itu adalah calon adik iparnya yang sudah lama menghilang setelah mengatakan kalimat menyakitkan padanya.

Dreesen di sana dengan pandangan lurus menatap ke arah Grisha.

Setelah beberapa minggu tidak bertemu, Dreesen akhirnya muncul juga.

Entah apa yang begitu bergejolak di dada gadis itu saat matanya bertemu dengan mata Dreesen. Seperti ada yang hendak keluar.

"Tinggalkan kami," pinta Dreesen pada semua orang.

Setelah hanya berdua, Dreesen mendekat, memperhatikan Grisha dengan seksama. "Sangat cantik, Bee."

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Datang untuk meminta maaf. Terakhir kali, aku mengatakan hal yang menyakitimu. Jadi, maafkan aku."

Grisha mengangguk pelan. "Aku tahu kau khawatir padaku, aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak marah padamu, Sen. Aku mengerti dan aku seharusnya mengatakan terima kasih padamu."

"Aku membelikan air soda padamu. Mau minum?" Dreesen menawarkan botol air minum.

Tanpa sungkan Grisha meraih botol itu dan menenggak isinya. Dia langsung menghabiskan semua isi botol kecil itu. Desahannya terdengar kencang. "Kau memang yang paling mengerti. Sejak tadi aku membutuhkan minuman."

Dreesen tersenyum tipis. "Sekali lagi, aku minta maaf."

"Aku sudah katakan, aku tidak menyalahkanmu. Aku mengerti. Dan kau tidak perlu meminta maaf padaku."

"Bukan untuk kesalahan yang aku lakukan sebelumnya. Tapi untuk kesalahan yang baru saja aku lakukan."

"Apa? Aku tidak mengerti."

Dreesen menatap Grisha dengan menyelidik. "Kau merasa pusing atau lemas?"

Grisha memegang bagian samping kepalanya. "Ya, aku merasakannya. Apa yang terjadi." Gadis itu lemas dan langsung jatuh. Dreesen menangkapnya dan membawa Grisha dalam pelukannya. Pria itu menyeringai.

"Tidurlah. Aku akan membawamu pulang ke rumah kita."

***

READY PDF

HARGA. 30.000

WA. 087819469662


Terpaksa Menikah Where stories live. Discover now