10

103 18 0
                                    

"Bagaimana kau akan memikirkannya? Aku sudah menjadi suamimu dan aku tidak akan pernah menceraikanmu."

"Kau tidak merasa bersalah pada Rupert? Dia pasti tidak akan terluka."

Dreesen menyeringai. "Selama ini dia hanya melukaiku. Kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan?"

Grisha memijit tengkuknya, dia merasa darahnya menjadi rendah. Berhadapan dengan Dreesen sangat sulit. Sulit mengatasi bagaimana pria itu begitu teguh pada pendiriannya. Dan keras kepala Dreesen jelas tidak ada tandingannya.

Suara perutnya yang berbunyi membuat Grisha memegang perutnya. Rasa lapar membanjirinya. Dia sepertinya belum dikasih makan cukup lama. Karena sekarang perutnya terasa perih.

"Kau butuh makan. Aku akan mengambil makanan untukmu."

"Aku tidak mau makan di ranjang atau tempat ini."

"Kau mau aku membawamu pulang untuk makan?"

"Bukan itu maksudku." Grisha menatap ke segala arah. "Hanya saja tempat ini terasa begitu intim bagiku. Aku membayangkan apa yang sudah kau lakukan padaku di sini. Aku tidak bisa membayangkan hal seperti itu saat makan."

Dreesen bangun. Dia mengangguk mengerti.

Grisha mengalihkan matanya, pria itu telanjang di depannya tanpa malu. Meski memiliki tubuh yang bagus, harusnya Dreesen tidak menunjukkannya dengan penuh percaya diri. Pria itu benar-benar mengesalkan.

Dreesen menyeringai. "Kau sudah melihat segalanya, kenapa harus malu?"

"Pakai pakaianmu, Sen. Kalau kau tetap seperti itu, aku lebih suka kelaparan."

Dreesen bersiul dengan tangan sibuk mengenakan pakaiannya kembali. "Sudah, kau bisa menatap sekarang."

Grisha menatap dengan lega. Dia kemudian ingat kalau dia perlu juga mengenakan pakaiannya. Dia menatap pria itu bingung. "Di mana pakaianku?" Grisha sudah mencari ke setiap sudut ruangan, dia tidak menemukan apa pun.

"Kau kubawa dengan gaun pengantin. Gaunnya ada di ruangan lain. Kau mau memakai gaun itu?"

"Kau gila? Kau tidak membawa pakaian ganti?"

"Tidak."

Grisha menatap tidak percaya.

"Aku pikir kau akan kabur dariku. Jadi aku tidak mungkin membiarkanmu mengenakan pakaian. Setidaknya, dengan bra dan celana dalam, kau tidak akan bisa ke mana-mana. Siapa sangka kau malah lebih tenang dari yang aku dugakan."

Setelah Dreesen mengatakannya, Grisha juga baru sadar kalau dia memang cukup tenang untuk ukuran orang yang diculik dan dipaksa.

Grisha menggeleng, dia tidak mau memiikirkannya. Segala hal tentang Dreesen memang membuatnya di luar nalar. Pria itu seolah menarik diri lain dari Grisha.

"Lalu apa yang akan kukenakan?" tanya Grisha yang merasa tidak mungkin baginya hanya mengenakan selimut yang dililit.

Dreesen membuka kemejanya. Dia menyerahkan kemeja hitam itu pada Grisha. "Pakai ini."

"Serius?"

"Bukankah lebih baik dari telanjang? Atau kau memang mau telanjang dan membuat aku menggila?"

Dengan kesal Grisha mengambil pakaian itu. Dia bisa melihat bagaimana Dreesen dipenuhi dengan senyuman kemenangan, Grisha mengabaikannya.

Sedikit berbalik, Grisha memasang kemeja itu di tubuhnya. Dia tidak langsung mengancinginya. Dia malah sibuk menghidu aroma pria itu yang tertinggal di kemejanya. Grisha sempat memejam menikmati aroma itu.

Ini bukan kali pertama Grisha merasa suka dengan aroma Dreesen. Dulu saat Dreesen sakit, Grisha juga diam-diam mencium aroma pria itu dan dia sungguh menyukainya. Meski jelas, dia tidak akan mengakuinya.

"Apa membutuhkan tanganku untuk mengancingi kemejanya?" tawar Dreesen yang tidak mengerti kenapa Grisha diam saja.

Segera Grisha sadar dan buru-buru mengancingi kemejanya. Dia kemudian menyibak selimut dan berdiri kaku dengan kaki yang terasa dingin. Lantainya sangat dingin.

Dreesen sepertinya tahu kalau Grisha tidak terlalu suka panas. Anehnya, meski lantainya dingin, tubuh Grisha terasa panas. Seolah ada tungku pembakaran di tubuhnya.

Dreesen memutar ranjang, memberikan sendal pada Grisha yang tampak tidak nyaman dengan dinginnya lantai.

Terpaksa Menikah Where stories live. Discover now