1. Redfox

731 62 69
                                    

𝚅𝚘𝚝𝚎 + 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗 𝚍𝚞𝚕𝚞 𝚢𝚊!シ︎

𝚅𝚘𝚝𝚎 + 𝚔𝚘𝚖𝚎𝚗 𝚍𝚞𝚕𝚞 𝚢𝚊!シ︎

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


1. 𝚁𝚎𝚍𝚏𝚘𝚡

Setelah upacara selesai, barisan para pelajar tidak semudah itu dibubarkan. Pak Anwar selaku guru BP, menahan murid-muridnya sekaligus memanggil 4 orang laki-laki yang duduk di bangku kelas XII IPA 2.

Keempat laki-laki itu berjajar sebaris, menghadap para murid yang juga masih berbaris. Mereka sama-sama menunduk. Bukan takut, melainkan malu.

“Sekolah sudah memutuskan, geng Redfox harus dibubarkan!” putus Pak Anwar.

Kalimat itulah yang mampu membuat keempat laki-laki itu mendongak. “Sudah kami bilang, Redfox bukan geng!” marah Daiva.

“Lalu apa namanya, saat sekumpulan laki-laki berkumpul hanya untuk balapan liar, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa?!” bentak Pak Anwar.

“Kecelakaan itu disabotase, dan pelakunya udah di tangkep!” imbuh Kevi.

“Dan satu lagi!” kata Taro, “tidak ada korban jiwa, Qing belum meninggal!”

Semuanya bermula. Saat 1 Minggu yang lalu, geng Predator mengajak anggota Redfox untuk balapan mobil. Awalnya Qing berniat menolaknya, tetapi seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya di jadikan taruhan. Qing tidak bisa menolaknya lagi.

Redfox lupa, jika Predator adalah sekumpulan orang-orang licik. Dalam keadaan lengah, Qing berhasil masuk ke dalam perangkap mereka. Malam itu Qing terlibat dalam kecelakaan, dan kini sudah 5 hari terbaring di rumah sakit.

“Kami hanya akan bubar, jika Qing sendiri yang membubarkannya!” Seorang laki-laki yang semula hanya diam saja, kini angkat bicara.

Keberaniannya tidak berhenti di sana, laki-laki itu memimpin langkah meninggalkan lapangan upacara. Tentu yang lainnya mengikuti, karena perintahnya adalah perwakilan Qing. Dia dijuluki suara kedua Qing Caksusrawa.

Bukan hanya dijuluki suara kedua, laki-laki itu juga dijuluki fiksi di dunia nyata. Mengapa? Karena wajahnya menggambarkan karakter fiksi. Bahu lebar dengan mata tajam, tahi lalat di hidung kanannya menjadi ciri khas seorang Harjun Vijendra.

Taro yang menyukai cara Harjun membungkam guru BP itu, bergerak merangkul sahabatnya. “Ajun gue emang debest!”

Begitupun Daiva yang ikut merangkul Harjun. “Lo liat muka si Anwar itu, merah abis gak bisa berkata-kata.”

CAKSUSRAWA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang