18. Semangat Giselle (3)

489 46 0
                                    

Suara wanita muda mengalun merdu di ruangan kafe, menyanyikan sebuah lagu dengan irama yang memberikan suasana  nyaman serta memanjakan bagi siapapun yang mendengar. Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi Giselle yang kini tengah duduk di sebrang Karina.

Sekali lihat saja, semua orang tahu Giselle saat ini sedang berada dalam perasaan yang tidak baik.

Akan tetapi, Karina selaku temannya tentu tak ingin Giselle berlarut dalam masalah seorang diri selama berhari-hari.

Jadi hari ini Karina menarik paksa Giselle ke kafe setelah mereka pulang bekerja. Karina sama sekali tak memberikan ruangan bagi Giselle untuk menolak sama seperti yang terjadi kemarin-kemarin.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?" Tanya Karina langsung pada intinya.

Tentu saja Giselle mengerti siapa kalian yang dimaksud oleh Karina, tetapi Giselle memilih membungkam mulutnya, tidak ingin menjawab pertanyaan Karina.

Melihat Giselle yang terdiam, Karina tidak menyerah, ia tetap menunggu sembari mengambil astor yang menjadi hiasan eskrim di depan matanya.

Karina memakan astor tersebut dengan ekspresi kesal yang menghiasi wajah cantiknya. Selama itu juga ia tidak melepaskan pandangannya dari Giselle.

Sama seperti Karina, Giselle pun sama kerasnya, dia masih bersikap tidak peduli, membuat Karina mencibir Giselle dalam hati.

Ampun deh, Selle, Haechan aja bahkan masih lebih baik dari lu. Susah banget lu buka mulutnya.

"Mau sampe kapan lu tutup mulu, Selle? Mau disamperin sama ayang Jeno nih? Perlu gua telpon enggak nih Pak Bos?"

"Rin, dari kemarin lu bahas Pak Jeno mulu, enggak mempan, tau enggak. Masalah gua sama Haechan ini parah banget, Pak Jeno lewat deh pokoknya. Lu enggak bisa nyogok gua pake Pak Jeno."

Ucapan Giselle itu berhasil membuat Karina menganga. Saking terkejutnya dengan ucapan Giselle itu, Karina bahkan tak merasa sungkan apabila ia harus bertepuk tangan untuk itu.

Kemana perginya Giselle yang kemarin ngomong Jeno itu prioritas utamanya? Sungguh luar biasa. Benar kata orang, hal yang tak bisa dipegang adalah 'kata-kata' orang.

"Oke, sorry, Selle. Abisan gua gemes banget sama lu, dari kemarin ngehindarin gua mulu. Bukan cuma sama Haechan aja, lho, tapi sama gua juga. Cerita dong, Selle. Gua jadi berasa enggak guna tau kalo temen gua enggak cerita."

Mendengar permohonan Karina, tentu siapa orang yang tidak luluh? Giselle, teman dekatnya Karina, saja terkena pesona gadis cantik itu dan memutuskan untuk membuka mulutnya.

"Haechan itu ..." Giselle menggeram saat matanya menatap tajam ke arah makanan tak bersalah yang ada di depannya, seolah membayangkan makanan itu adalah Haechan.

"... kemarin dia mutusin buat kita berakhir aja, Rin. Gimana gua enggak kesel. Kayak apa ya, kayak hubungan kita semudah itu bagi dia."

"Lu udah nanya alasannya?"

"Klasik, katanya dia pengen fokus sama penelitian dan tugas akhirnya."

"Terus lu enggak percaya gitu sama dia, Gi?"

"YA PERCAYALAH!"

Karina menutup telinganya saat mendengar suara melengking Giselle menggema di dekatnya. Tipikal Giselle sekali.

Giselle yang sedang kesal dan melihat reaksi Karina pun semakin kesal dan kini kekesalannya mengarah pada Karina.

Giselle sempat mendecakkan lidahnya sebelum akhirnya kembali bercerita, "Ya, gua pasti percaya kalo Haechan mau fokus sama kuliahnya. Gua bahkan mau ngerayain keseriusan Haechan. Lu tau betapa senengnya gua denger kabar itu?

Gua sampe mikir, apapun bakal gua lakuin buat support Haechan, tapi .... ya gitu."

"Gitu gimana?"

"Ya, lu tau selanjutnya. Dia nolak bantuan gua. Katanya, engga perlu sampe tinggal bareng. Tapi, gimana ya? Gua mikirnya gua tuh bisa bantuin nyusun penelitiannya.

"Bukannya kita kalo nyusun skripsi itu perlu banget ya support system? Apalagi gua juga udah nyusun skripsi sebelumnya, malah usul gua ditolak.

"Dan pas gua ngediemin dia, lu tau apa yang dilakuin dia? Brengsek banget dia malah minta putus. Kayak apa banget, harusnya lu tuh ngebujuk gua atau gimana, eh malah begini. Gimana enggak kesel.

"Gua kayak ... hhhh."

Giselle mengipaskan satu tangannya seraya mendongakkan kepalanya sedikit, berusaha menahan isak tangisnya, tapi pertahannya tetap saja runtuh saat melihat Karina mengulurkan tisu ke arahnya.

"Gua enggak ada maksud ngerendahin atau apa, gua cuma bener-bener mau bantu dia, Rin, hiks. Tapi, kenapa dia gitu ya?

"Dia enggak percaya gua apa gimana? Apa dia diem-diem ada cewek lain sampe minta putus? Sumpah, pikiran gua kemana-mana tau."

Giselle akhirnya menumpahkan perasaan dan buah pikirannya selama ini yang ia simpan seorang diri, membuat Karina yang melihatnya pun akhirnya memilih untuk pindah tempat duduk di sebelah Giselle.

Karina meraih Giselle ke dalam pelukannya.

Melihat drama yang dilakukan kedua sahabat ini, tak heran banyak pasang mata yang menjatuhkan pandangannya pada mereka, tetapi Karina dan Giselle sama sekali tidak peduli.

Yang terpenting bagi mereka saat itu adalah meluapkan perasaan yang terpendam dalam dada dan berjalan maju.

Detik itu alunan suara romantis yang mengalun lembut beralih menjadi lagu yang menyayat hati, bercerita tentang kesedihan dan patah hati.

Cocok dengan kondisi saat ini.

"Apa gua salah ya, Rin, kalo gua berharap bisa bantu Haechan berkembang bareng gua? Gua enggak mau maju seorang diri, gua mau maju bareng-bareng. Salah ya gua terlalu berharap?"

Karina mengusap Surai panjang Giselle. "Enggak, Gi. Lu enggak salah sama sekali. Gua tau itu."

***

Setelah menghabiskan waktu satu setengah jam, Karina dan Giselle memutuskan untuk kembali ke apartemennya.

"Rin ..."

Sebelum Karina membuka pintu apartemen mereka, panggilan Giselle menghentikan niatan Karina.

"Ya, ke---"

Suara Karina terpotong dikarenakan keterkejutan yang langsung menyergapnya.

Mata Karina mengerjap beberapa kali saat mendapati Giselle kini memeluknya dengan erat. Selama beberapa detik Karina tidak tahu harus berbuat apa, sampai akhirnya ia memutuskan untuk membalas pelukan Giselle.

"Makasih, Rin," Ujar Giselle kemudian melepaskan pelukannya.

"Makasih karena lu udah mau dengerin gua hari ini. Kalo lu enggak maksa, gua enggak akan pernah cerita dan selega ini."

Senyuman tak lepas dari bibir Giselle. Meski kini mata Giselle sembab, tetapi Karina dapat merasa ketulusan dan rasa lega dari tatapan yang dipancarkan Giselle.

"Makasih juga karena lu udah mau percaya cerita ke gua, Selle."

Giselle kemudian tertawa sebentar dan memutuskan untuk memasuki apartemen mereka terlebih dahulu, meninggalkan Karina yang masih berdiri di depan pintu apartemen.

Pelukan Giselle terasa begitu hangat.

Meski temannya itu sudah meninggalkannya, Karina masih merasakan rasa hangat dari pelukannya. Perasaan hangat ini sama seperti perasaan hangat saat mendengar Haechan bercerita hari itu.

"Gua cuma enggak pengen nyusahin Giselle, Na. Sebagai seorang laki-laki, tentu aja gua mau ngasih yang terbaik buat wanita gua. Gua pengen nyamain langkah Giselle, enggak cuma nyamain, gua bahkan pengen berada di depan Giselle, biar dia ada tempat untuk bersandar. Tapi, kayaknya ego dan keinginan gua ini nyakitin dia, gua enggak sanggup liat dia sedih, Na. Gua ... apa gua nyerah aja?"

Karina masih mengingat kata-kata Haechan dan melihat kejadian tadi membuat Karina berkesimpulan bahwa Haechan dan Giselle memiliki definisi membahagiakan dan menerima pasangan dengan arti yang berbeda.

Tidak ada yang salah dengan keduanya.

Mereka memiliki tujuan yang baik satu dengan lainnya.

SECRETARY YOO [BLUESY VERS.] - TAMATWhere stories live. Discover now