15. Pesawat jatuh

Start from the beginning
                                    

"Kalo Rana sekalian kosongin supermarket nya boleh?"

Senyum Pak Aldan mengembang merekah, "boleh boleh boleh. Gaji mas cukup kok buat beli seisi supermarket ini. Tapi ada syaratnya."

"Apa tuch?"

Mata laki-laki itu celingak-cekinguk ke kanan kiri. Setelahnya ia mendekatkan mulutnya ke telinga Arana yang berlapis hijab. "Jatah saya kamu lancarkan, belanja seisi supermarket saya kabulkan," gumam Pak Aldan dengan senyum tengil di bibirnya.

"Jatah mulu perasaan. Mas nggak mikirin yang lain, gitu?"

"Nggak. Kan kewajihan kamu cuma itu."

"Yaudah sihh, Rana juga ngga jadi beli seisi supermarket. Tadi Rana lupa kalo rumah kita nggak bakal sanggup nampung semua itu," ujarnya mulai mendorong troli.

Kekehan seorang Aldan terdengar begitu renyah hingga membuat gadis-gadis yang ada disekitarnya oleng. Terpana dengan senyum sumringah di tambah suara kekehan yang begitu indah. Behh, dunia mereka teralihkan.

Melihat istrinya yang sudah menjauh Pak Aldan pun segera mengikuti perempuan itu, mempercepat laju troli yang ia dorong hingga kembali beriringan.

"Rana pengen nyetok buah, mas, boleh ngga?"

"Boleh. Ambil aja se-mau kamu."

Senyum manis terpatri di wajahnya, ia mulai memilih jejeran buah segar yang menurutnya bisa tahan lama di kulkas.

Setelah itu lanjut memilih berbagai daging perdagingan. Baru setelahnya susu, cemilan, minuman kaleng pilihan Pak Aldan, dan berbagai tetek bengek lainnya. Hingga dua troli itu penuh melewati batas suci.

Nominal bayarannya? Jangan heran lur, seharga satu android.

Saking banyaknya belanjaan mereka, sampai-sampai sebagian besar harus dibawakan oleh petugas supermarket.

"Abis ini kamu mau apa lagi?" tanya Pak Aldan sambil menghidupkan mobil hendak pulang.

"Udah, mas, cukup. Ini aja udah berlebihan banget. Kalo bukan karena kita butuh juga Rana pasti nggak bakal belanja sebanyak ini."

"Beneran ngga ada lagi? Barangkali kamu mau makan diluar?"

"Nggak, ada. Rana masih kenyang abis makan telur goreng. Kalo pun mau makan nanti di rumah Rana bisa masak sendiri. Kita mesti hemat tau."

Senyum lebar tercetak di bibir Pak Aldan. Ia begitu senang mengetahui perempuan ini tidak matre. Menjadi dosen serta seorang CEO di waktu yang bersamaan membuat uang yang diterima Pak Aldan setiap bulannya tidaklah sedikit, bahkan kalaupun tadi Arana benar-benar akan membeli seisi supermarket ia sanggup bayarkan.

Tapi nyatanya Arana bukanlah perempuan yang suka menghamburkan uang.

"Setelah status kamu berubah jadi istri, mas, kamu nggak perlu sungkan buat pakai duit, mas. Itu duit kamu juga. Kalo kamu mau royal juga gapapa, mas nggak masalah sama itu," terang Pak Aldan dengan mata fokus ke jalanan.

"Makasih karena, mas bisa royal sama, Rana. Tapi kayanya kita pake secukupnya aja, dari semua harta kita kan nggak semuanya hak kita. Ada hak orang, hak anak yatim yang terselip disana. Rana juga gapapa kalo sekiranya diajak hidup sederhana. Rana siap."

Bangga. Satu perasaan yang melekat di hati Pak Aldan saat ini. Arana nya sangat perhatian pada sekitar. Ia tak hanya mementingkan kebahagiaannya sendiri, bahkan orang lain pun turut menjadi bahan khawatirannya.

"Senyaman kamu, Ra. Mas ngikut kamu."

•••

Suana siang ini begitu panas. Arana bahkan memilih hanya nangkring di kamar tanpa melakukan apapun dengan suhu AC terendah. Namun sayangnya itu belum juga cukup untuk membuat tubuhnya terasa sejuk.

Senja Yang AbadiWhere stories live. Discover now