DIS-FINAL CURTAIN

21.6K 1.9K 629
                                    

Adelia's.







Everything feels surreal.

Berada di sini—di dalam pelukan Narendra—merasakan perasaan nyaman tanpa ada perasaan takut yang membayangi.

Kedua mata Narendra yang terpejam, napas pria itu yang terdengar teratur, semua tentang Narendra dini hari ini terlihat tidak nyata.

Telunjukku bergerak pelan menyentuh bulu mata Narendra, lalu beralih ke kelopak matanya, dan turun ke hidung dan bibirnya perlahan.

Senyumku terulas tipis ketika merasakan usapan jemari Narendra di pinggang telanjangku.

"I'm here. There is nothing to be afraid of anymore." Jemariku yang berada di bibir Narendra ikut bergerak ketika pria itu bergumam berat. "Tidur, Bu..." Kedua matanya terbuka dan tatapan kami bertaut lama.

Seingatku, heningku dulu cukup menakutkan karena ku lewati sendirian.

Baru kali ini, aku menyadari kalau ada hening semenyenangkan ini—we merely hugged each other in the chill of the early dawn while our lips pressed together in a smile.

"Itu tadi lirik lagu, ya?"

Kening Narendra mengernyit dalam, "Are my words so poetic that you find it difficult to believe?" tanyanya dengan raut kelihatan tersinggung.

Tanganku yang melingkar di pinggang Narendra bergerak mendorong punggung telanjang pria itu agar bisa mendekat lagi ke arahku. "Kenapa kamu mendadak berubah sensitif begini? Ngantuk?"

Jemariku kini bergerak mengusap kening Narendra, makin memperberat kedua matanya yang sebenarnya sejak tadi sudah akan terpejam.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Narendra benar-benar terlelap. Perlahan, aku mencoba keluar dari selimut yang membungkus tubuh kami berdua, memakai piyama dan duduk di tepi ranjang—kembali memperhatikan Narendra.

Tubuhku bergerak membungkuk untuk memberikan ciuman di kening Narendra—mengusap rambutnya pelan—lalu kembali memberikan kecupan-kecupan kecil lainnya di wajah Narendra yang kelihatan tidak terganggu dengan apa yang aku lakukan di lelap tidurnya.

Setelah memastikan kalau Narendra masih terlelap, aku memutuskan untuk keluar dari kamar.

Bahagia, haru, entah perasaan mana yang membuatku terjaga meski tubuhku terasa lelah luar biasa. Kakiku berjalan melewati ruang tengah dan dapur untuk menuju taman belakang rumah kami—rumah yang dulunya sering aku sebut rumah Narendra dan berakhir dimusuhi pria itu beberapa jam.




"Jadi, yang di sini ini rumahku, sementara yang di Surabaya itu rumah kamu? Bisa gitu, ya, Bu?"





Ya, tidak seharusnya aku berpikiran seperti itu karena kurang lebih renovasi yang terjadi di rumah ini terjadi setelah aku dan Narendra menikah.

Narendra bilang kalau ada sesuatu yang tidak nyaman atau kurang pas tentang rumah ini, aku bisa memberitahunya.





"Kan, aku beli rumah ini waktu masih single. Yang penting waktu itu nyaman aja, makanya aku memutuskan buat beli rumah ini. Selama tinggal di sini 5 tahun, aku nggak pernah kepikiran buat rombak ini-itu, tapi kalau kamu mau renovasi beberapa bagian boleh-boleh aja."





Karena aku akan sangat jarang tinggal di Jakarta—waktu itu—aku sama sekali tidak berpikiran akan mengubah apa pun di sini—di rumah Narendra. Tapi, beberapa bulan setelahnya aku berpikiran untuk mengubah taman belakang rumah Narendra yang terlihat kosong.

Di saat Narendra mengatakan kalau selama kamar dan ruang kerjanya tidak bermasalah, maka tempat lain di rumah ini tidak terlalu dipedulikannya adalah hal yang benar karena sebelum renovasi yang sempat aku singgung sebelumnya, taman belakang rumah ini cuma taman yang dipenuhi rumput dan satu meja kursi dan taman—yang bahkan aku dan Narendra harus bergantian jika ingin duduk di sana.

DISCONNECTED (COMPLETED)Where stories live. Discover now