DIS-28-Build Bridges

11.6K 1.5K 416
                                    

Adelia's.


"Yakin mau pakai dress itu?"

Kepalaku menoleh ke belakang, menatap Narendra yang bersandar di samping pintu kamar kami sambil bersedekap.

Ya, 'kan? Pasti Narendra tidak akan setuju.

Aku kembali memutar kepalaku ke depan, memperhatikan cermin yang menampilkan pantulan tubuhku yang terbalut satin backless dress berwarna beige.

Padahal, aku sudah menyiapkan dress ini setelah aku tahu kalau Narendra punya rencana untuk mengadakan resepsi secara private di Bali bersama teman-teman kami. Perhaps this sounds childish, but I was excited to wear this dress before. Tentu, sebelum ada lebam-lebam itu di punggungku.

Narendra berdehem, "Yakin, Bu?" Dagunya mengedik ke arah punggungku—aku bisa melihatnya dari pantulan cermin di hadapanku.

"Keliatan jelas, ya?"

Itu barusan pertanyaan bodoh, dan Narendra boleh saja mendengkus karena merasa geli mendengar pertanyaanku barusan. "Kamu nggak bawa dress lainnya?"

Tentu, aku membawanya. Tapi, aku sengaja ingin mencoba dress ini sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memakai dress lain yang lebih pantas—atau aku harus bilang yang menutupi lebam di tubuhku.

"Bisa aja, sih, kalau kamu tetap mau pakai dress itu." Lewat cermin, tatapan kami beradu. "Ditimpa pake kerokan. Mau? Seenggaknya, lebamnya bakal keliatan samar, Bu."

Tawa kecil Narendra turut membuatku gagal menahan tawa. Ia menggelengkan kepala, berjalan mendekati ranjang. "Pakai yang lain aja. Kalau memang nggak ada dress, suruh Dira cari."

"Nggak usah." Langkahku bergerak mundur, mencari koperku yang aku letakkan tidak jauh dari dressing table. "Aku bawa dress yang lain, kok," ucapku sambil memulai mencari dress lain yang sudah kutata di dalam koper.

"Terus, ngapain kamu coba pakai dress yang itu?" Mungkin Narendra menilai tidak masuk akal perilakuku barusan.

Senyumku terulas ketika mendengar nada kesal yang keluar dari bibir Narendra lewat pertanyaannya barusan. "Dari awal, aku memang udah ada rencana untuk pakai dress ini, Ndra. Seenggaknya, aku mau coba sebentar." Kedua bahuku mengedik bersamaan sembari mengangkat dress yang masuk ke option ke-2 untuk acara malam ini.

"Itu bagus." Yang dimaksud Narendra barusan adalah midi dress bercorak floral dari reformation—hadiah dari Aline di hari ulang tahunku tahun lalu. "Pakai yang itu aja."

Tsk, bagaimana dia bisa terdengar seperti orang yang benar-benar memberikan saran di saat ia sama sekali tidak melihat dress yang ia puji bagus tadi?

Aku mengarahkan pandanganku ke dress yang aku pegang dari pemandangan Narendra yang telentang di atas ranjang, kembali menimbang-nimbang apakah aku harus memakai dress ini atau mencari dress lain?

"Kayaknya kamu harus tau, deh, Bu, nanti malam itu aku pakai polo t-shirts sama celana pendek—pleated shorts—gitu doang," ucapnya, memberitahu outfit apa yang dipakainya nanti malam—dengan tujuan supaya aku tidak begitu memusingkan soal dress apa yang akan aku gunakan. Mungkin, ya?

Tidak tahu benar berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk memilih dress yang akan aku gunakan nanti malam, tapi begitu aku ingin memberitahu Narendra—pria itu malah terlelap pulas di atas ranjang.

Melihat waktu sudah berganti ke sore hari, aku memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap dulu sebelum membangunkan Narendra.

"Make up artistnya datang jam berapa?" Sambil mengucek matanya, Narendra bertanya.

DISCONNECTED (COMPLETED)Where stories live. Discover now