DIS-9

9.4K 1.3K 200
                                    

Narendra's.

Look into those longing eyes...

Listen to their compliments and applause after hearing what I have to say. Despite the fact that everything I say is nonsense, I'm sure they still praise me.

"Jadi, ya, itu tadi. Poin utamanya jangan mudah menyerah. Kita di sini sama-sama berjuang, ya, teman-teman." Gue bisa melihat wajah-wajah seluruh mahasiswa yang mengikuti seminar siang ini. "Kalau ada yang berusaha menjatuhkan kalian karena pilihan kalian sekarang dianggap 'berbeda' dengan mereka, ya, sekarang ini waktunya untuk membuktikan.

"Pelan-pelan. Nggak perlu terburu-buru. Kalau tadi saya dengar itu istilahnya, 'alon-alon asal kelakon' ya, Mas-Mas dan Mbak-Mbak semuanya," ucap gue lewat microphone, mengutip pepatah jawa yang sempat gue searching dan tanya sebelum memulai seminar.

Tawa dan tepukan riuh gue dengar sebelum gue menjauhkan mic, dan acara diambil alih oleh pembawa acara.

Gue mendengkus saat melihat Firman mengacungkan jempolnya begitu gue kembali duduk di atas kursi yang memang disediakan di bagian belakang podium.

"Antusiasme mahasiswanya keren, nih," komentar Firman, masih berdecak kagum setelah melihat ramainya keadaan salah satu aula di UGS tempat gue mengisi seminar hari ini.

Duduk di sampingnya, gue menganggukan kepala—menyetujui perkataan Firman. This is not the first time I've spoken at a seminar like this. Gue sering diundang juga dari universitas satu ke universitas lainnya, but I must say that the students' enthusiasm here is incredible!

"Oh, terima kasih, Dir." Gue menerima sebotol air putih dari Dira yang baru saja berdiri di belakang kursi gue. "Dira." Dira dengan sigap membungkukkan tubuhnya supaya bisa mendengar suara gue. "Ibumu gimana? Diangkat teleponnya? Pesanmu sudah dibalas belum?" tanya gue beruntun, mengeluarkan semua rasa ingin tahu gue sejak menginjakkan kaki di universitas tempat Adelia mengajar.

Senyum gue refleks melebar ketika Dira mengangguk—nggak tahu untuk jawaban yang mana—seenggaknya Adelia sudah mau menyambung komunikasi yang sempat terputus dengan Dira.

"Itu." Kepala gue mengarah mengikuti arahan telunjuk Dira. "Ibu datang, kok, sejak Bapak mulai seminar tadi."

Where is she now? Kedua mata gue masih menyusuri satu per satu barisan kursi yang ada di dalam aula, mencoba mencari keberadaan Adelia. Kenapa keadaan di sini harus seramai ini, sih?

"Kursi di baris ketiga, paling kanan, Pak." Firman ikut berbisik waktu tau gue kesulitan mencari letak kursi yang diduduki Adelia.

And there she is. Duduk di barisan kursi dosen-dosen UGS lain, Adelia kelihatan mengobrol singkat dengan beberapa dosen lain sebelum tatapan kami bertemu satu sama lain.

"Ibumu tatapannya begitu banget, Man?" Serius, alih-alih gue yang tadinya punya niatan buat ngerjain Adelia jadi nggak nyaman sendiri begitu tau wanita itu dari tadi nggak melepaskan tatapannya dari gue.

Firman yang duduk di sebelah gue refleks menutup mulut menggunakan salah satu tangannya. "Yakin Ibu ngeliatin Bapak, ya?"

"Mau ngeliatin siapa lagi memang?" Kenapa Firman ngejawab mulu coba? Gue berdecak, masih menatap Adelia. "Terus? Maksud kamu, Ibu ngeliatin kamu, gitu? Bangun! Udah siang ini!" kata gue, membalik candaan ke asisten gue satu itu.

Sementara gue bisa mendengar Dira mencoba menahan tawanya, Firman berdehem singkat. "Ya, nggak saya juga, Pak," timpalnya pelan.

"Jangan baper, Man. Saya juga bercanda. Mana mungkin Ibu ngeliatin kamu kalau saya ada di sini, 'kan?"

DISCONNECTED (COMPLETED)Where stories live. Discover now