DIS-25-Sold Down The River

9.2K 1.3K 324
                                    

Narendra's.


Kayaknya, ini baru pertama kalinya gue merasa nggak berguna.

Gue terbiasa berperilaku dan bertindak secara percaya diri karena gue tau kemampuan gue.

Tapi, hari ini kemampuan gue dalam berperilaku dan bertindak secara percaya diri mendadak hangus dilibas pembicaraan yang nggak sengaja gue dengar dari Bapak, Ayah, dan Gilang sebelum acara akad dimulai tadi pagi.











"Padahal Adelia anak kalian satu-satunya, loh."

Gue sengaja berhenti, menyembunyikan diri di belakang sekat tembok pemisah ruang tamu dan kamar yang gue gunakan untuk bersiap-siap sebelum acara akad.

Mencuri pandang dari balik sekat pemisah, gue kaget menemukan Bapak, Ayah, dan Gilang yang ternyata masih ada di dalam kamar—bukannya turun ke ballroom tempat acara akad gue dan Adelia berlangsung.

"Kalau bisanya cuma merugikan aja buat apa?" Suara Ayah terdengar menyahuti ucapan Bapak. "Mending nggak usah punya anak sekalian," sahutnya yang ditertawai Gilang dan Bapak.

Gue tau soal Ayah dan Bapak yang memang bukan orang baik, jadi waktu dengar ucapan barusan—meskipun gue harus tetap menahan emosi supaya nggak memberi beberapa pukulan ke orang tua Adelia itu—tapi, hal itu berbeda kalau menyangkut sosok lain yang bergabung di obrolan Bapak dan Ayah di sana.

Gilang.

Tawa pria itu—tawa yang nggak seharusnya keluar waktu dengar ucapan merendahkan Ayah. Tawa yang seharusnya nggak keluar dari sosok yang gue tau begitu peduli dengan calon istri gue.

"Kanaya tahu, kan?" Kali ini Bapak yang bersuara, menghentikan tawa Ayah dan Gilang.

Gue berusaha mengintip sedikit, ingin melihat ekspresi apa yang dibuat orang-orang di luar.

Ayah keliatan menganggukan kepala, "Tahu, lah. Dia juga nggak ada masalah, kok, sama persyaratan kalian buat merger setelah Adelia dan Narendra resmi menikah."

Sepertinya jawaban Ayah mampu memuaskan Bapak, "Oke, lah. Harusnya, sih, kami dapat bonus, loh?" canda Bapak yang gue nggak tau letak di mana lucunya.

Kali ini, Gilang yang tertawa "Kalau ngomongin bonus, sih, harusnya saya yang dapat, loh, Pak."

Brengsek...

"Gimana, nih? Ngeyakinin Narendra sama Ibunya buat nerima Adelia susah banget, loh." Gue liat Bapak menyenggol lengan Gilang yang berdiri di sebelahnya.

Gilang tertawa lagi, "Seenggaknya kalau Bapak dapat bonus bisa, lah, bagi ke saya dikit. Kontribusi saya juga nggak bisa dibilang sedikit, loh, Pak. Susah saya double buat ngeyakinin Adelia sama Narendra. Saya sampai harus di-briefing dulu buat jual cerita sedihnya Adelia, loh, Pak."

Maksudnya, cerita soal Adelia yang Gilang ceritakan waktu itu? Jadi, semua yang keluar dari bibirnya cuma bualan yang dibuat oleh Gilang dan keluarga Adelia?

Sialan! Gue dibohongin sebanyak apa selama ini?








Tangisnya, semua kata-kata yang pernah dia bilang... wanita yang kini berjalan memasuki ballroom setelah gue mengucap ijab kabul bersama penghulu itu memasang senyum malu-malu.

Pembohong...

Gue menatap Adelia yang masih tertidur lelap di samping gue—memeluk guling—dengan rambut panjangnya yang berantakan.

"Tujuanmu apa sebenarnya, Bu?" gumam gue sangat pelan.

Padahal, baru aja gue mencoba belajar memahami Adelia—perlahan mencoba belajar soal peran gue sebagai suami dan bagaimana cara supaya hubungan gue dan Adelia bisa berhasil.

DISCONNECTED (COMPLETED)Where stories live. Discover now