Rasa dingin di leher Ametys menghilang secara perlahan seolah pisau tajam di sana telah ditarik. Meskipun Ametys tidak takut, tapi tetap saja rasanya mengerikan ketika diancam oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Pada kesempatan itu, Ametys juga berpamitan, "Di masa depan mungkin aku tidak bisa lagi datang ke tempat ini sesering sebelumnya." Hawa dingin itu kembali, tapi alih-alih kemarahan, yang dibawa oleh 'itu' adalah perasaan tertekan. "Jangan seperti itu, kami anak muda punya banyak hal yang ingin dicapai. Tidak sepertimu, hidup kami manusia hanya beberapa dekade, jadi harus dimanfaatkan selagi bisa."

Ametys mengatakan beberapa hal lagi, sampai kemudian tidak tahan dengan hawa dingin itu. Melihat jika tengah malam sudah lewat, Ametys akhirnya berdiri. Satu tangannya bertumpu pada batu itu, tampak berpikir.

Dia mengeluarkan pisau ukir yang selalu dibawa ke mana pun dan berkata, "Hadiah perpisahan."

Ada ukiran kecil di permukaan batu. Itu bukan azimat, melainkan ukiran runik kebaikan karena batu itu sendiri sudah menjadi material azimat yang bagus. Dengan ini, selama runiknya tidak dirusak, siapa pun yang akan datang ke Batu Penganti dengan tujuan buruk tidak akan pernah bisa sampai ke sana.

Di masa depan, hal ini juga yang kemudian menyebabkan banyak orang-orang dengan tujuan buruk untuk batu tersebut tersesat di dalam hutan. Dan Ametys yang tidak menggunakan kemampuan meramalnya mungkin tidak pernah menebak bahwa apa yang dia lakukan ini akan membuat lebih banyak wisatawan datang ke desa mereka, tujuannya tentu saja untuk menguji kebenarannya mitos tersebut.

Di jalan menuruni bukit, angin kencang tiba-tiba berembus, hampir menerbangkan Ametys sekaligus jika gadis itu tidak cepat memeluk sebatang pohon.

"Sama-sama, tapi bisakah kamu melakukannya dengan lembut lain kali?" Ametys tak berdaya saat membenarkan rambutnya yang kusut.

Tentu saja tidak ada jawaban, tapi saat Ametys berjalan kembali ke desa, cahaya bulan tampaknya menjadi lebih terang karena daun-daun di pepohonan tersibak memberi ruang.

* * * * *

Di kota, tiba-tiba terjadi keributan di sebuah rumah dua lantai bercat jingga. Anehnya, dengan suara keras seperti itu, tidak ada tetangga yang keluar, seolah mereka semua tidak pernah mendengar apa pun dan masih terlelap dalam tidur.

Di dalam salah satu kamar yang biasanya dijadikan ruang praktik, seorang wanita setengah baya meringkuk kesakitan. Segala macam benda yang ada di sekitarnya meledak tiba-tiba, dan seolah tubuh wanita itu adalah magnet yang menarik besi, semua hal dari pecahan itu mengarah padanya.

Namun, bukan luka-luka itu yang membuat wanita tersebut kesakitan, melainkan perutnya yang seolah diaduk dari dalam dan jeroannya dipelintir dengan tangan besi.

Melihat sesajennya yang terbalik dan semua hal di atasnya berubah menjadi busuk, wanita itu merasa takut untuk pertama kalinya.

"Siapa ... siapa yang melakukan ini?!" teriak wanita itu.

Dalam pikirannya, itu adalah dukun lain yang ingin menyerangnya. Sayangnya, orang itu juga sangat kuat sehingga dia tidak bisa bertahan.

Suara gedoran pintu terdengar, dan mungkin karena itu tidak terbuka untuk waktu yang lama, orang yang berada di luar langsung menerobos masuk. Itu adalah seorang pria yang merupakan suami wanita itu dan juga gadis seumuran Ratmi.

"Mak, apa yang terjadi?" tanya gadis itu saat melihat semua hal di dalam ruangan hancur tak bersisa.

Pria itu buru-buru berlari ingin mendorong istrinya, tapi tersandung pecahan tembikar dan jatuh tepat di atas wanita itu.

"Aduh!" Dukun wanita itu berteriak histeris karena perutnya ditusuk oleh siku suaminya, membuatnya memuntahkan darah saat itu juga.

"Mak!" teriak gadis itu ngeri. Melihat darah segar mengalir dari mulut ibunya, gadis itu setengah jijik tapi masih pergi mencari kain untuk membersihkannya.

Syahdan ✓Where stories live. Discover now