1. (d)

13.1K 1.9K 185
                                    

Malam hari di desa sangat sepi dan tenang. Pertama itu jauh dari keramaian kota dan kedua, suhu di dataran tinggi sangat dingin sehingga siapa pun lebih memilih duduk di dalam rumah mereka untuk berkumpul bersama keluarga daripada berkeliaran di luar dan harus minum obat flu keesokan harinya.

Ametys juga berpikir demikian, tapi sayangnya dia harus melakukan sesuatu malam ini sehingga meskipun itu sangat dingin, Ametys masih mendaki ke bukit. Kakeknya di masa lalu tahu bahwa Ametys tidak tahan dengan dingin, jadi pria tua itu mengajarinya mengukir azimat yang bisa menghangatkan tubuh. Sayang sekali media untuk membuatnya tidak bisa menggunakan batu biasa, atau itu hanya akan bertahan selama beberapa menit.

Tidak seperti kebanyakan orang yang harus menggunakan senter, Ametys berjalan hanya dengan bantuan cahaya bulan yang pucat, itu tampak dingin ketika jatuh di dedaunan dan rumput sepanjang jalan. Hanya suara serangga dan burung malam yang menemaninya.

Sesampainya di dekat Batu Pengantin, Ametys pertama-tama menggosok tangannya yang dingin, sebelum kemudian berjalan mendekat dan menepuk dinding batu.

"Maaf karena mengganggu lagi," ujar Ametys. "Kamu pasti sangat marah karena orang-orang itu hendak mengotori tempat ini lagi, bukan?"

Tidak ada yang menjawab, tapi bagi orang yang sensitif, anehnya mereka bisa merasakan udara berat di sekitar sana. Itu seperti seseorang yang menyebarkan kemarahannya melalui angin dan menindas orang lain.

"Zaman sudah berubah dan orang-orangnya telah menjadi lebih pintar. Praktik bunuh diri seperti itu sudah tidak lazim dilakukan, jadi kamu bisa tenang." Ametys masih berbicara sendiri. "Yah, Ratmi itu cukup bodoh kupikir."

Batu Pengantin awalnya tidak disebut demikian. Itu tidak memiliki nama, jadi orang-orang zaman dulu menyebutnya sebagai 'kepala bukit', karena letaknya yang berada tepat di tengah-tengah dataran paling tinggi. Tampak seperti kepala yang mencuat dari bahu, terlihat jelas bahkan dari kejauhan.

Karena lokasinya, apabila hujan turun di desa, batu ini adalah yang pertama terkena, begitu pun dengan sinar matahari pagi. Itu telah ada di sana sejak waktu yang tidak bisa dihitung, menyaksikan perubahan musim dan orang-orangnya, jadi tentu saja akan memiliki energi alam. Namun, energi ini tidaklah memiliki jiwa, itu adalah kepercayaan orang-orang terdahulu akan hal metafisika sangat kuat sehingga memberikannya 'kehidupan' dan lambat laun, roh alam muncul di sana.

Ketika orang pertama bunuh diri dengan melompat dari batu, energi di tempat itu berubah buruk karena niat jahat tersebut. Hal ini terus berlanjut sampai bertahun-tahun saat kebiasaan melompat dari atas batu menjadi lumrah apabila seorang calon pengantin gagal menikah. Kemudian ketika bencana longsor besar terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, seorang paranormal yang diundang dari luar berkata bahwa itu adalah penunggu batu yang marah kerena mengotori tempatnya.

Benar atau tidaknya, siapa yang tahu, tapi semua orang seharusnya mengerti bahwa tidak ada akibat tanpa sebab. Mungkin perbuatan menyimpang orang-orang di masa lalu memang sudah keterlaluan sehingga teguran diturunkan.

Energi di sekitar batu menjadi lebih baik setelah praktik menyimpang itu dihentikan, jadi ketika Lilike hampir mati di sini, roh alam tempat itu pastilah sangat marah.

Ametys merasakan sengatan tajam di lehernya, tidak ada luka di sana, tapi seolah-olah ada seseorang yang sedang mengancamnya dengan meletakkan pisau di permukaan kulitnya. "Aku melindunginya bukan tanpa alasan, karena Lilike tidak bersalah. Sementara Ratmi, meskipun dia juga korban, tapi karena dia yang memulai semua ini, dia pantas dihukum." Ametys menyipitkan matanya, menatap ke lembah di mana banyak lampu dari rumah-rumah orang di kota berkedip seperti bintang di langit. "Tapi, kamu tahu siapa yang seharusnya menerima hukuman paling besar, bukan? "

Syahdan ✓Where stories live. Discover now