"Oh, kamu mulai membela anakmu, ya?" Rangkuti tak lagi berwajah santai. Rahangnya telah mengerat. Netranya menghunus tak hanya tajam, namun juga kejam. "Apa yang sebenarnya kamu rencana 'kan?"

"Nggak ada, Mas," Amrullah menghela berat. Ia ingat telah menampar anaknya siang tadi. Dan barusan, Rangkuti mengatakan apa? Ia membela Aksa? Ck, jelas-jelas, ia selalu membela mantan besannya itu. Tetapi entah kenapa, mendengar permintaan Rangkuti tadi, ia tak ingin menyanggupi. Sebab anaknya, tak hanya terlihat lelah. Namun juga muak. "Semua tentang Aksa, sudah cukup, Mas," ia menekankan. "Tanpa kehadiran Aksa, panti asuhan dan rumah tahfiz yang Mas dirikan, pasti akan menjadi tajuk hangat dikalangan masyarakat."

"Ck," Rangkuti berdecak cepat. "Apa kamu mulai lupa, Ru? Publik menyukai cerita-cerita berbumbu sentimentil. Kehadiran Aksa bersama Anye dan Diva, pasti menjadi magnet yang nggak akan luput dari media."

Ia sudah memiliki rencana bila Aksa benar-benar datang.

Ia akan mengundang serta Alvin di sana, hingga infotainment turut meliput kegiatannya hari itu.

Membayar buzzer tak lagi sulit untuk menaikan berita, mengenai kebersamaan Aksa dengan anak dan cucunya.

"Tapi saat ini, Aksa sudah punya rencana sendiri untuk hidupnya, Mas."

"Ah, menemani anak-anaknya, ya?" ejek Rangkuti sembari memperdengarkan dengkusan. "Mau rujuk dengan mantan istrinya?" seringainya makin terlihat jelas. "Dia sudah berani sekarang?"

"Berani apa, Mas?"

"Berani melawanku," ekspersi Rangkuti berubah bengis. "Benar 'kan, mereka ingin rujuk?"

"Biar itu menjadi urusan Aksa," Amrullah mengambil jawaban pintas. "Yang terpenting, Aksa sudah menjalankan kewajibannya sebagai adik Akhtar. Dia memberi status pada anak kakaknya. Menyelamatkan Anyelir dari gunjingan orang-orang. Dan nggak pernah lalai, memberi nafkah untuk Adiva. Saya harap, Mas sudah cukup menggunakan Aksa demi kepentingan partai atau demi kepentingan keluarga Mas sendiri. Kali ini, biarkan Aksa melakukan apa pun sesuai keinginannya," Amrullah mengakhiri pembicaraan mereka.

Ayah empat orang anak itu lantas berdiri, kode matanya memanggil ajudannya agar menghampiri.

"Kita sudah selesai dengan Aksa, Mas," putusnya seraya menarik napas panjang. Gurat lelah di wajahnya yang tua mulai terlihat jelas. Kini tengkuknya kembali terasa berat. "Saya tidak akan lagi melibatkan Aksa untuk kepentingan partai lagi," ucapnya yakin.

Namun Rangkuti tak setuju, wajahnya terlihat mencemooh. Bibirnya terangkat tipis. Lalu, ia pun ikut berdiri. "Kita lihat nanti, Ru. Kita lihat nanti," ungkapnya penuh makna. "Tapi satu hal yang pasti, Aksa akan datang minggu depan," maksudnya adalah peresmian panti asuhan. "Dan saya, yang akan memastikannya sendiri," bukan sekadar janji. Justru, terdengar bak ancaman.

***

Walau langit telah menghitam. Namun gemintang, bertaburan menyemarakkan semesta. Bias lampu-lampu jalan, menjadi penerang. Menunjukkan mereka, di mana tempat pulang. Walau hakikatnya, tak semua rumah adalah tujuan mengistirahatkan raga. Namun, Aksa berdoa bahwa bangunan yang ia bangun di depan sana merupakan destinasi dari akhir hari dan terbitnya pagi.

Meski, dirinya tak ikut menempati.

"Itu rumah kita?"

Demi Tuhan, Aksa menyukai hari ini.

Astaga, bahkan lebih suka lagi dengan malam ini.

Pertanyaan anak gadisnya membuat senyumnya membuncah penuh kebanggaan. Dengan kepala yang mengangguk mantab, ia ulurkan tangan demi mengusap bahu putrinya. Wajah cantik itu masih berhias kebingungan. Namun selebihnya, Aksa bisa memastikan bahwa binar di mata sang putri menampilkan sebuah ketertarikan.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now