Satu

65.4K 6.8K 338
                                    

Nah, buat yg pengin icip2 cerita ini, aku tambahin deh partnya yaaa 

happy reading 


*** 

Embun masih menguasai dedaunan.

Sinar matahari yang nanti akan terang benderang pun, masih tertutup awan.

Pagi ranum yang penuh kesejukkan, menjadi awal bagi banyak makhluk fana memulai kehidupan. Seperti, beranjak dari peraduan. Memutus buai-buai mimpi yang ditebar memabukkan. Terjaga demi menjemput kesadaran. Dan mulai melaju dengan setumpuk rutinitas yang kadang-kadang mengganggu.

Tetapi, bukankah semua itu adalah bagian dari gulir semesta?

Rumah itu terbilang kecil untuk ukuran sebuah hunian yang menampung banyak nyawa di dalamnya. Tiga kamar yang ditutupi daun pintu kayu kecokelatan, membuat ruang yang tersaji semakin sempit. Lantainya hanya berlapis keramik murah dengan dinding-dinding kusam karena cat yang telah bertahun-tahun menempel di sana tak pernah lagi berganti warna. Perabot-perabot usang masih tertata dan entah kapan hendak dibuang. Di luar, bahkan bata merahnya pun belum dilapisi semen untuk memperhalus permukaannya.

Tetapi, terima kasih pada tiap-tiap bahan material yang telah menyokong rumah ini. Nyatanya, setelah bertahun-tahun dihuni, bangunan itu masih kokoh berdiri.

Suara riuh mesin air terdengar bising di area dapur dan kamar mandi. Mesin cuci tua yang sering kali rusak, masih bersusah payah menggiling berhelai-helai pakaian. Bunyinya pun mengganggu. Sementara desis minyak goreng panas membuat dapur sunyi itu terasa pengap. Tumisan bawang beradu dengan spatula di atas wajan, menjadi penyemarak kesekian tuk membangunkan orang-orang. Sebelum kemudian, nasi dingin yang telah dilumuri kecap tertuang ke dalamnya.

Mengecilkan api sejenak, suara Nada membelah pagi. Panggilan kepada anak perempuannya menggema di seantereo rumah.

"Ck, berisik!"

Nada membuang napas. Ia abaikan gerutuan adik laki-lakinya yang memang tertidur di ruang tamu. Tak ada kamar yang bisa ditempati membuat pria berbadan tegap tersebut harus bersedia menempati ranjang kecil yang di tata di ruang tamu. Sekat lemari kayu cukup membuat ranjang tersebut tersembunyi.

"Lova!"

"Ck, Mbak, masih pagi. Bisa nggak sih nggak ribut terus gini?"

Menggigit bibir, Nada akhirnya mengalah pada gerutuan adiknya. Nasi gorengnya ia tinggal dengan api kecil. Bergegas menuju pintu kamar yang paling dekat dengan dapur, ia menarik napas begitu melihat anak laki-lakinya yang tertidur di bawah justru menaikan selimut hingga kepala. "Abang," ia goyang-goyangkan kaki sang putra. "Bangun, Nak. Sapu halaman depan, ya, Bang?"

"Masih ngantuk, Buuun ...."

Tersenyum kecil, Nada menarik selimut itu hingga ia bisa melihat dengan jelas wajah mengantuk putranya yang cemberut. "Bangun dong, Bang. Nanti nenek ngomelin Abang, lho," ia mencoba menakut-nakuti. Hanya gumaman yang ia terima, namun Nada terlampau percaya anaknya akan segera membuka mata. "Jangan lupa kasurnya dilipet, ya, Bang? Simpen diselipan lemari."

Ia tidak perlu membangunkan anak perempuannya, karena begitu ia membuka pintu tadi, sang putri sudah terjaga. Sedang mengucek mata sembari menguap berkali-kali.

"Adek, beliin Bunda telur ya, di warung? Tapi mandi dulu aja. Mumpung kamar mandinya belum ada orang. Udah cepet, Dek!" kini, ia memburu-buru anak perempuannya. "Bunda belum siapin bekal kalian. Cepetan, Dek. Sekalian nanti, bantuin Bunda jemur pakaian, ya?"

"Dingin, Bun," rengek Lova cemberut. Tetapi, ia tetap beranjak dari sana sambil membuka jendela. "Masih setengah enam, Bun. Tiap pagi Adek harus mandi sepagi ini terus," rengeknya pelan.

Aksara SenadaKde žijí příběhy. Začni objevovat