Empat Puluh Tiga

40.6K 5.6K 327
                                    

yess, selamat pagiii

ayoo ketemu sama Ayah, Bunda beserta anak-anaknya ...

happy reading ....


Nyatanya, masalah tak langsung selesai.

Walau keputusan telah mereka buat, ternyata tak gampang meyakinkan orang-orang bahwa mereka mampu. Padahal, keduanya berada di pertengahan usia 30. Dengan liku hidup yang tak gampang, namun mereka bisa memberi pemikiran matang untuk setiap masalah yang datang. Terlebih, mereka adalah sepasang orangtua untuk dua anak remaja. Agak aneh rasanya bila keputusan yang mereka ambil mendapat banyak pertanyaan.

Layakkah keduanya disebut belum dewasa?

Astaga, tentu saja tidak.

"Kalian mutusin rujuk?" Indri datang ke rumah ibunya begitu mendengar kabar bahwa Nada akan pindah. Berikut dengan kedua keponakannya yang juga pindah sekolah. "Kamu mau pindah karena mau balik sama dia lagi, Nad?" sebenarnya, ia tak menentang. Hanya saja, keputusan adiknya terdengar mendadak. "Sebenarnya ada apa sih? Kok tiba-tiba gini?"

"Aku sama Aksa nggak ada niatan rujuk, Mbak," Nada menjawab sambil membenahi kamarnya. "Dan ini nggak tiba-tiba. Ternyata, Aksa udah lama nyiapin rumah buat anak-anak," ia tak berdusta.

"Terus, kenapa kamu ikut pindah?"

"Nggak mungkin anak-anakku tinggal sendiri 'kan, Mbak?"

"Ya, maksud aku, mereka bisa tinggal sama Aksa bertiga gitu 'kan?"

Nada menghela. Ia tatap kakaknya sejenak, sebelum kemudian mengalihkan tatapan ke luar jendela kamarnya. "Aku nggak bisa tinggal jauh dari anak-anak. Aku yakin, Mbak Indri juga begitu. Mbak nggak mungkin bisa tinggal jauh dari anak."

Lagipula, hak asuh si kembar masih berada di tangannya. Ia tak akan melepaskan mereka begitu saja. Sebutlah ia egois. Namun, ibu mana yang rela berpisah dari anaknya?

Satu jam yang lalu, ia baru saja tiba di rumah. Aksa menjemputnya dan anak-anak pagi tadi untuk berangkat ke sekolah putra-putri mereka bersama. Si kembar setuju untuk pindah. Walau Nada tahu, jauh di lubuk hati kedua anaknya itu mereka berat berpisah dengan teman-temannya.

"Jadi, kalau nggak nikah lagi, kalian mau ngapain?" Darmayanti yang berada di ambang pintu kamar putrinya tak mampu menahan diri lagi. "Mau kumpul kebo, iya?" tuduhnya gregetan. "Kamu memang nggak pernah belajar dari kesalahan, Nad."

"Astaga, Bu, aku nggak mungkin kumpul kebo sama Aksa," Nada membantah keras. "Aku sama anak-anak bakal pindah ke rumah yang udah disiapin Aksa buat mereka. Sementara Aksa, tinggal di apartemennya sendiri," Nada tahu fakta tersebut tak membuat perasaan ibunya melunak pada Aksa sedikit pun. "Aksa nawarin aku pekerjaan di firma hukum omnya. Ibu tahu sendiri, aku udah nyari kerja di sini tapi nggak kunjung dapat panggilan. Makanya, aku putusin buat pindah bareng anak-anak," Nada menjelaskan secara rinci. Walau ia tahu, ibunya hanya akan menganggap penjelasannya itu omong kosong belaka. "Kami tinggal di rumah yang terpisah. Aku masih tahu batasannya, Bu."

"Heru janji bakal nyariin kamu kerjaan. Kenapa nggak tunggu aja sih?" Darmayanti menyela lagi.

"Mau nunggu sampai kapan, Bu?" Nada membalas dengan jengah. "Lagipula, anak-anak udah mulai besar. Lova udah haid. Mereka butuh kamar sendiri, Bu. Nggak mungkin terus-terusan kami tidur bertiga, Bu."

"Ya, kan bisa ngontrak," sahut Darmayanti tak mau kalah. "Didekat sini banyak kontrakan."

"Ibu kenapa sih? Ibu nggak rela, ya, anak-anak pergi dari rumah?" tanya Nada hati-hati. Mengingat betapa defenisifnya sikap sang ibu pada anak-anaknya, buat Nada ragu demi mengurai rasa keberatan yang diutarakan sang ibu. "Kami bakal sering jengukin Ibu sama Bapak di sini. Sekarang, naik bus udah gampang, Bu. Jalanannya juga udah enak. Jadi, Ibu sama Bapak nggak perlu ngerasa khawatir lagi kayak dulu."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now