Lima

47.8K 5.5K 248
                                    

Mendung memang tidak selamanya hujan. Tetapi, mendung mengindikasikan awan benar-benar kelabu. Sama seperti sedih yang tak melulu soal tangisan. Namun yang pasti, sedih berarti ada hati yang telah tersakiti.

Logikanya, jangan mempermainkan perasaan bila tak ingin didera kehancuran. Mulai belajarlah menghargai. Sebab, banyak jiwa yang merintih karena sebuah perih yang berhasil digores belati. Berhenti membuat orang lain berduka. Katakan tidak suka, bila memang tak ingin bersama. Jangan membuat janji. Sebab hati, adalah tempat paling abadi dalam menyimpan segala memori.

Lovata Almeera merupakan gadis kecil yang telah melalui banyak fase dalam hidupnya. Namun, ia tidak pernah bisa membenci. Ia tahu masalah yang didera keluarganya. Ia paham kenapa orangtuanya tak lagi bersama. Baginya, tidak apa-apa. Cukup menyenangkan mendapatkan dua hadiah berbeda dari ayah dan ibunya ketika hari kelahirannya tiba.

Kakaknya sudah mewanti-wantinya berkali-kali. Berharap ia tidak membuat ulah yang berpotensi mencipta keributan. Tetapi sayang sekali, hadiah yang ditawarkan membuatnya tergiur. Sejak Mila—salah seorang temannya—memiliki ransel teddy bear berwarna merah muda, ia pun mengidam-idamkannya. Namun, ia ingin yang berwarna cokelat. Dan kebetulan, di depan sana dipajang salah ransel cokelat idamannya. Jadi, tanpa berpikir dua kali, ia pun mengangkat tangannya tinggi.

"Eyang, aku tahu! Aku hafal isi teksnya, Eyang!"

Tetapi rupanya, ada yang tak ia sadari.

Panggilannya pada orang itu membuat aula yang semula riuh, mendadak senyap. Ia yang terlampau bersemangat, malah berdiri sambil melompat-lompat.

Eyang?

Astaga, rasanya Lova sudah gila.

Sambil mengerjap, ia meringis. Ia menggaruk kepala sembari mencari-cari keberadaan kakaknya. Bermaksud meminta pertolongan atas kekacauan yang terlanjur ia buat. Dan setelah menemukan kakak laki-lakinya itu, Lova hanya mampu menyengir tipis. "Hehehe ... Abang ..."

Terlambat untuk kembali duduk.

Ia resmi menjadi pusat perhatian.

Tak berani menatap ke depan, Lova menunduk sambil menggigit bibirnya saja.

Mati!

Namun, hal itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Sebab, kakaknya yang selalu bisa diandalkan, segera menemukan solusi untuknya.

Oka berdiri di antara keheningan yang dicipta sang adik. Sambil membungkukkan kepala, ia bermaksud meminta maaf. "Maaf Pak, Bu," mulanya tenang. "Lova, adik saya lagi nggak enak badan dari pagi tadi, Pak, Bu. Tapi, tetap maksa sekolah padahal lagi demam. Dan kayaknya, Lova benar-benar kurang sehat, Pak, Bu. Dia sempat ketiduran tuh barusan. Hehehe ... jadi, nggak sengaja ngigo," Oka menahan malu gara-gara adiknya. "Saya bawa ke UKS aja anaknya, ya, Pak, Bu? Takutnya ganggu konsentrasi Pak Amrullah," kali ini ia sengaja menyebutkan nama tokoh penting hari ini. Tak lupa pula, ia angkat kepalanya. Menatap lurus sosok yang tersebut. "Gimana, Pak?"

"Kalian ini ada-ada saja," suara kepala sekolah mengintrupsi. Andai tidak ada orang penting di sebelahnya, sudah pasti kedua anak itu tidak akan lepas dari hukumannya. "Sudah sana, bawa adikmu ke ruang kesehatan."

Oka mengangguk cepat.

Dengan tajam, matanya mengarah kejam ke arah sang adik. Memberi kode agar segera menyingkir dari barisan. Dan beruntungnya, Lova mengikuti intruksinya dengan baik. Dengan kepala tertunduk, sepasang saudara itu pun meninggalkan aula. Diiringi ratusan pasang mata yang pasti akan menjadikan keduanya buah bibir di jam istirahat nanti.

"Maaf, ya, Pak, sebelumnya. Kedua murid tadi saudara kembar. Jadi mungkin, kakaknya benar-benar khawatir soal kesehatan adiknya."

Dalam hati, Oka tertawa mendengar penjelasan dari Kepala Sekolah mereka.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now