Tiga Puluh Enam

32.1K 4.2K 258
                                    

ini lanjutan flashback kemarin yaaa

proses terciptanya Abang yang ulalaa dan Adek yang nggak manzalitaa hahaha


"Ini Aksa, Pak, Bu," Nada membawa Aksa ke rumahnya. Mengenalkan pemuda itu pada keluarganya. Dengan luka lebam di sudut bibir dan langkah yang terpincang-pincang, Nada tak tega menyuruh Aksa langsung pulang. Paling tidak, ia harus mengobatinya terlebih dahulu. "Aksa ini anaknya Bu Yashinta, pemilik yayasan yang ngasih aku beasiswa kuliah waktu itu," ia merasa perlu menjelaskan tentang Aksa. "Aksa juga temen kampusku dulu," untuk penjelasan terakhir Nada merasa agak getir ketika menyuarakannya.

Sebab, rasanya masih bagai mimpi bagaimana ia bisa mencicipi bangku kuliah walau tak sampai sarjana. Untuk orang-orang seperti dirinya dan keluarga, jangankan mengkhayalkan pendidikan tinggi. Bisa tamat SMA pun, sungguh luar biasa.

"Dan mobil yang di depan rumah kita itu, mobilnya Aksa, Pak," sedan hitam yang terparkir di jalanan desa yang belum tersentuh aspal, tentu saja menimbulkan perhatian.

Setelah diperkenalkan seperti itu, Aksa mengangguk sopan. Bibirnya mencoba melengkungkan senyum walau terasa perih. Bajingan tadi berhasil membuat sudut bibirnya terluka. Dan kini, pedih yang menyebar mulai ingin membuatnya mengumpat. "Selamat sore, Pak, Bu," ia memanggil kedua orangtua Nada sebagaimana wanita itu memanggil mereka. Bukan karena ingin sok asyik, Aksa hanya terlalu percaya diri. "Saya Aksa, Pak, Bu," ia mendatangi untuk menyalami. Sopan santun adalah harga mati yang diterapkan mami kepada mereka semua. "Maaf, ya, Pak, Bu, kalau kedatangan saya membuat terkejut."

Pak Supardi sudah mendengar kabar perkelahian dua pemuda yang melibatkan anak gadisnya. Ia tak mengira bahwa pemuda asing yang disebut-sebut oleh warga yang melintasi rumahnya tadi, merupakan anak dari pendiri lembaga bantuan hukum yang melindungi putrinya dari ancaman-ancaman gila keluarga kepala desa mereka waktu itu.

Keberadaan mobil di depan rumah, sebenarnya sudah begitu mencolok. Beberapa tetangga begitu terang-terangan melirik kendaraan beroda empat itu dengan tatap penasaran. Dan anak laki-lakinya bilang, pemiliknya merupakan teman Nada. Jujur, perasaan Supardi langsung tidak enak. Dan firasatnya itu terbukti.

"Ayo-ayo duduk dulu, Nak Aksa." Namun Supardi, tahu betul bagaimana menyambut tamu. Ia lengkungkan senyum dengan ramah. Meminta pemuda seumuran putri keduanya untuk duduk. "Udah diobatin belum lukanya?"

"Be—belum, Pak," jawab Aksa sambil meringis.

"Oalah, sana Nad, beli obat merah di warung," Supardi ingat bahwa di rumah ini mereka tidak memiliki antiseptik untuk mengobati luka. "Bapak ada duit itu di kantung celana yang di belakang pintu."

"Eh, nggak usah, Pak," Aksa buru-buru melarangnya. "Di mobil saya ada kotak P3K kok, Pak. Sebentar saya ambil," ia bergegas bangkit. Namun meringis keras, kala lututnya tak sengaja berbenturan dengan meja kayu. "Awwh ...."

Melihat hal itu, Nada kontan mengembuskan napas. Ia letakkan totebagnya di atas meja, lalu menyodorkan tangannya pada Aksa. "Mana kunci mobilnya? Biar aku yang ambil."

Aksa memberi cengiran pada gadis itu. Ia rogoh saku belakangnya dan menyerahkan kunci tersebut pada Nada. Ia tak perlu menjelaskan apa-apa, sebab mobil yang saat ini ia bawa merupakan mobil yang sama yang biasa ia kendarai bersama gadis itu. "Di tempat biasa," bisiknya pelan.

Namun rupanya, hal itu tak luput dari perhatian keluarga Nada. Adri—adik laki-laki Nada, langsung berjalan ke arah sang kakak yang keluar rumah.

"Mbak Nada pernah naik mobil itu?" ia mengekori Nada dari belakang. "Mbak bisa nyetir juga?" tanyanya penasaran. Tetapi, kakaknya itu tak kunjung menjawab. Hingga kemudian mereka tiba tepat di sebelah mobil hitam tersebut. Adri melihat kakaknya begitu luwes membuka pintu. "Mbak," ia menarik bagian belakang baju kakaknya. "Aku boleh naik nggak?" pintanya penuh harap. "Boleh, Mbak? Boleh, ya? Duduk aja kok, Mbak," runtutnya terus.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now