Tiga Belas

47.7K 5.7K 189
                                    

Aduh, maaf yaa aku lupaa update buat di wattpad heheh

Btw, cuma mau bilang, yg bagian atas itu flashback yaa

Happy reading


"Masa Mami nggak tahu sih?"

Aksa menarik kursinya sambil memberengut. Walau enggan, tangannya pun bergerak untuk membalik piring. Suasana meja makan sudah penuh dengan seluruh anggota keluarga. Tinggal ayahnya saja yang belum hadir. Tetapi, sejak sore tadi ayahnya itu sudah berada di rumah. Tengah melakukan meeting internal dengan beberapa orang kader partai politik yang mengusungnya sebagai anggota legislative sejak periode kemarin.

Ada pavilion yang dibangun di belakang rumah mereka sejak dua tahun yang lalu. Dan di sanalah, biasanya kader-kader partai berkumpul. Terkadang, beberapa pejabat daerah pun ikut bergabung. Rumah mereka tidak pernah sepi. Tiap hari, selalu ada saja tamu yang berkunjung.

"Mi?" ketika ibunya tak kunjung menggubris, Aksa pun berdecak. "Aku hubungin Mbak Gita aja sendiri boleh nggak sih?" ia menyebut nama sekretaris ibunya.

Mbak Arti dan Mas Akhtar menatapnya dengan alis berkerut. Sementara Alvin, si anak bungsu, tak mau peduli dengan rengekan Aksa.

"Mi?"

"Iya-iya, nanti Mami cari tahu sendiri. Udah, jangan berisik, nanti kalian diomelin Papi."

"Emang ada apaan sih, Mi?" tanya Artillah yang lebih sering dipanggil Arti, penasaran. "Perasaan dari siang, Aksa memang udah rusuh deh," komentarnya mengingat-ingat kelakuan adiknya semenjak pulang kuliah tadi. "Kenapa sih, Sa?"

"Biasa, cewek," sahut Akhtar santai. Ia tidak ikut menjadi panitia ospek, namun ia sudah mendengar dari teman-temannya tentang apa yang dilakukan adiknya tadi. "Edgar bilang, dia jadi norak banget," komentarnya tertawa. "Pasti nih cewek cakep banget, ya, Saa? Buktinya, lo ngebet gini."

"Ck, gue kepo aja sih, Mas," decak Aksa malas. "Yayasannya Mami 'kan, jarang-jarang ngasih program beasiswa. Makanya, gue penasaran. Emangnya tuh cewek terlibat kasus apa? Seberat apa? Sampai-sampai, Mami ngasih reward dikuliahkan plus dapet uang saku tiap bulan."

"Wah, bener, Mi?" Akhtar yang tadi menggoda adiknya, kini ikut tertarik juga. "Kasusnya pasti berat banget nih, Mi?" Akhtar mulai memprediksi.

"Udah, ah, nanti kita omongin lagi. Ada Papi, tuh," Yashinta menunjuk suaminya yang telah berjalan memasuki ruang makan. "Dek," memanggil sang bungsu, Yashinta memperingatkan anaknya dengan kedua mata yang melotot. "Jangan bahas-bahas casting di depan Papi. Inget, ya?"

Aksa melirik adiknya sinis. Semenjak lulus casting dan membintangi iklan susu untuk remaja, adiknya mulai bertingkah. Setiap hari, ada saja rengekannya. Ingin menjadi artislah, penyanyilah, sampai atlet basket. "Baru jadi bintang iklan sekali, mimpi langsung jadi selebriti," sindirnya telak.

"Diem, lo!" Alvin membentak kakaknya.

Dan hal itu, tentu saja membuat petaka.

"Kamu ngomong apa barusan, Vin?" suara dingin dari sang kepala keluarga segera menusuk anak bungsunya. Masih dengan kacamata yang bertengger di hidung, Amrullah membidik anaknya tajam. "Udah mulai nggak sopan sekarang sama yang lebih tua?" tudingnya dengan iris kejam. "Siapa yang ngajarin kamu jadi begitu? Teman-teman sekolahmu?"

Mendapati respon mematikan dari sang ayah, Alvin sontak bergidik. "Maaf, Pi, nggak sengaja," ujarnya sembari menunduk. "Mas," ia panggil kakaknya dengan nada sopan. "Maaf, ya?" cicitnya sambil melirik ayahnya takut-takut.

Aksa mencebik, namun tak mengatakan apa-apa. Ia hanya bergumam singkat, dan langsung fokus pada makan malamnya saja. "Mi, jangan lupa lho," ia perlu memastikan supaya ibunya tidak lupa.

Aksara SenadaМесто, где живут истории. Откройте их для себя