Epilog 📕

24 10 3
                                        

Berdamai ....

Kata yang mudah diucapkan, sulit untuk dilakukan.

Ke dua kalinya Seokjin meninggal dunia, terakhir kali juga ia benar-benar menghilang dari muka bumi. Namun bukan itu saja, ada hal menyakitkan menorehkan luka cukup dalam.

Min Yoona. Kenangan dan barang serta tempat yang tersisa, akan terlihat, tapi berbeda di hati.

Jimin belajar mengikhlaskan kepergian sang pujaan hati. Merapalkan beberapa kalimat doa untuk ketenangan jiwa Yoona, senyum indah menawan masih berbekas dalam ingatan.

Sama seperti Jimin, Hera semakin tak bisa tersentuh oleh orang lain atau pun asing. Sedikit hangat hanya pada keluarga ayahnya, Park Jimin.

Kala itu pemakaman Yoona digelar, suasana duka mengelilingi area pemakaman. Tak ada tangis, tinggal tatapan sendu dan rindu masih tersemat di mata keluarga dan para pelayat.

"Menurut hasil visum yang saya lakukan, dua jenazah sebelum merenggangkan nyawa saling melakukan percobaan pembunuhan terhadap satu sama lain. Luka amputasi di lutut kiri Nona Min terlihat jelas jika itu perbuatan di sengaja, apa lagi Nona Min mengonsumsi obat bius yang dikhususkan untuk seekor anjing."

"Mengakibatkan kelumpuhan di beberapa bagian tubuh, termaksud kaki- hah ... Nona Min juga mengalami kekerasan seksual di area intim, saat diperiksa lebih lanjut, rahimnya tengah mengandung delapan hari," lanjut dokter.

Kalimat itu memutar di otaknya, Jimin amat terpukul karena kehilangan dan tentang jawaban autopsi jenazah. Ingin rasanya ia menyiksa Seokjin, hingga pria itu meminta kematiannya sendiri.

Tapi itu hanya angan.

Beberapa orang meninggalkan tempat tersebut. Namjoon senantiasa di samping Jimin, kembali menyesali secara diam-diam. Ia menatap lamat seorang pria manis nan tampan, tatapan sendunya tidak luntur sejak kematian Yoona.

"Andai aku bisa menyelamatkannya waktu itu serta melawan ketakutan ku. Pasti Yoona masih ada di sini," ungkap Jungkook merasa bersalah.

Kejadiannya berlangsung cepat, tak kuasa menyimpan semua sendirian, pada saat Jimin tengah sendiri ia mengungkapkan bahwa dirinya yang menyelamatkan Seokjin dan dirinya juga di jebak agar menjadi anak buah seorang Kim Seokjin.

Awalnya Jimin marah. Tapi ia kembali pada kewarasannya, bahwa ini semua salah Seokjin. Bukan hanya Yoona yang menerima luka, tapi Jungkook pun juga. Berpikir rasional, begitulah seorang Park Jimin.

"Ini adalah takdir, Jungkook-ah," sahut Jimin melemah.

Ia tergelak sesaat, mengadahkan kepalanya ke langit. Tersenyum miris memikirkan takdir, lelucon? Itu yang terlintas di benaknya.

"Aku pasti akan bahagia. Ya, bahagia tanpanya!" Beberapa orang di sana melihat ke arah Jimin, Jimin tertawa terdengar sumbang.

Menghalau sakit hati, walau terus saja menerobos masuk ke dalam kehidupannya.

"Ah, menghadapi orang gila lagi, melelahkan!" keluh Namjoon pelan.

Area pemakaman kini telah kosong, menyisakan Jimin yang termenung sendirian. Dirinya menatap kosong dan tak berminat beranjak sedikit saja dari sana.

"Aku merindukanmu," gumam Jimin.

Suara lirih mengalun terbawa angin, seolah menyampaikan kegundahan hati seorang Park Jimin. Pria yang hampir menginjak usia kepala tiga ini masih meratapi takdir.

Semilir angin kembali berhembus lembut.

"Oppa," panggil seseorang.

Sangat lembut, hingga Jimin mencari keberadaan suara tersebut namun juga terdengar lirih bersamaan. Mata sipit miliknya mengoreksi setiap sisi pemakaman.

Not Dynamic Life |END| Where stories live. Discover now