25 | Menantang

1.5K 145 0
                                    

Setelah Rasyid, Mika, Hani, dan Tari memutuskan pergi ke rumah Wagiman, Tarjo, dan Mugi untuk memeriksa kondisi mereka, Raja pun duduk di kursi panjang sambil mengamati senjata yang kini menjadi miliknya. Ziva memperbolehkan Raja memiliki senjata itu, setelah mendengarkan pendapat Hani mengenai senjatanya yang mungkin sudah menemukan pemilik yang tepat. Hal itu membuat Raja kini ingin tahu lebih banyak tentang senjata yang Ziva berikan untuknya tersebut.

"Nama senjata ini apa, Ziv? Ini tampak seperti senjata tradisional, ya," tanya Raja.

"Itu namanya pedang jenawi, Ja. Itu memang senjata tradisional dari Riau," jawab Ziva.

"Senjata tradisional dari Riau? Lalu bagaimana caranya kamu mendapatkan senjata ini?"

"Itu dulunya milik Almarhum Kakek dan Almarhumah Nenekku. Senjata itu diberikan kepadaku saat aku baru masuk SMA, sebelum Nenekku meninggal dunia. Jadi aku mulai memakainya saat lulus SMA, alias saat mulai bekerja bersama tim ini," jelas Ziva.

"Kamu selalu bawa kedua-duanya saat bekerja? Eh ... senjata ini tidak bisa dibawa naik pesawat, 'kan?" Raja teringat persoalan izin membawa senjata tajam ke pesawat.

"Memang tidak bisa. Maka dari itu biasanya Tari mengirimkan senjata-senjata milik kami melalui jasa pengiriman khusus dan dialamatkan ke Kantor Polisi di daerah yang akan kita datangi. Nanti Kapolda, Kapolres, atau Kapolsek yang akan menerima paket itu dan diserahkan kembali kepada kita saat sudah tiba di daerahnya."

Raja kini mengangguk-anggukkan kepalanya, setelah paham dengan semua penjelasan dari Ziva mengenai senjata yang kini menjadi miliknya tersebut.

"Boleh sekarang aku tanya-tanya tentang kamu?" tanya Ziva.

Raja pun menatap ke arah wanita dan segera menyimpan pedang jenawi yang sejak tadi dipegangnya.

"Boleh. Kamu mau tanya-tanya apa tentang aku?" sahut Raja.

"Berapa usia kamu, Ja? Dua puluh empat, dua puluh lima, atau sudah tiga puluh?"

Raja pun tertawa saat mendengar tebakan Ziva yang jauh sekali dari usia aslinya.

"Usiaku dua puluh enam, Ziv. Kenapa kamu langsung menyebut angka tiga puluh, setelah menyebut dua puluh lima? Terlalu jauh tahu lompatnya," jawab Raja.

"Oh, dua puluh enam. Berarti usiamu lebih tua satu tahun dari usiaku. Mau kupanggil Kakak? Abang? Mas?" tawar Ziva.

"Kakanda," sahut Raja. "Kalau kamu memang mau memanggilku dengan sopan, panggil aku Kakanda Raja."

"Mm ... biar kamu bisa membalas dengan memanggilku Adinda Ziva. Gitu?" tebak Ziva.

"Astaghfirullah, Ziv. Apakah segitu terbacanya niatku barusan, sampai kamu bisa menebaknya?" heran Raja.

"Bukan terbaca, sih, Ja. Di mana-mana kalau pria dipanggil 'Kakanda', balasannya untuk wanita pasti 'Adinda', dong. Itu 'kan sudah umum, jadinya pasti tertebak dengan mudah olehku."

"Oh, begitu rupanya. Jadi gimana? Kamu mau 'kan, panggil aku Kakanda Raja?"

"Kamu mau aku panggil begitu saat aku ketemu sama Ibumu? Kamu tahu 'kan, betapa dekatnya aku dengan Ibumu selama ini? Sudah terbayang belum, bagaimana kalau aku bertemu dengan Ibumu lalu aku bilang, 'Assalamu'alaikum, Tante Retno. Kakanda Rajanya ada, Tante?'," Ziva langsung memberi praktik di depan Raja.

Hal itu jelas membuat Raja ternganga di tempatnya, karena tak mengira bahwa Ziva akan mempraktikkan secara langsung dengan mengaitkan hal tersebut pada Ibunya.

"Eh ... kalau di depan Ibuku, panggil saja aku 'Raja' seperti biasanya. Jangan panggil Kakanda Raja dong, bisa-bisa aku diejek Ibuku setiap saat kalau kamu memanggilku begitu di depannya," Raja mendadak panik.

Ziva pun tersenyum jahil disertai dengan niatan terselubung.

"Aku akan mencobanya jika dapat kesempatan," cetus Ziva, tak mau menutupi apa pun dari Raja.

"Jangan, dong. Jangan ya, Ziv."

Ziva pun bangkit dari kursi yang didudukinya bersama Raja dan meninggalkan Raja tanpa menjawab apa-apa.

"Ziva ... Ziv, ayolah," Raja masih berupaya membujuk. "Ziva, kamu jangan panggil aku begitu di depan Ibuku, ya. Ziva yang baik ... Adinda Ziva ... Ziva Sayang ... hei ... aku sudah kehabisan kalimat bujukan untuk kamu."

"Aku enggak mudah dibujuk, Kakanda Raja," balas Ziva dengan sengaja.

Raja pun mendadak menyesal karena telah mengusulkan hal paling konyol kepada Ziva. Ziva kini terlihat sedang membuka ponselnya, sehingga Raja pun langsung berusaha melihat apa yang dilakukan oleh wanita itu.

"Astaghfirullah! Kamu ganti nama kontak aku jadi ...."

"Iya," potong Ziva dengan cepat. "'Kan kamu tadi yang menyarankan supaya aku memanggilmu Kakanda Raja. Ya nama kontakmu di ponselku juga harus kuubah begitu dong, biar aku enggak salah ucap saat menerima pesan atau menerima telepon kamu."

"Ziva ... panggil Raja sajalah. Jangan panggil aku pakai kata Kakanda. Nanti kamu keceplosan ngomong di depan Ibuku dan memanggilku Kakanda Raja betulan. Please," mohon Raja.

Tari dan Hani jelas ternganga saat tak sengaja mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Ziva dan Raja saat itu.

"Ya Allah, random sekali pembicaraan dua manusia itu. Dan anehnya, aku bersahabat dengan salah satu dari mereka," keluh Hani.

"Bukan random, Han. Itu romantis namanya. Siapa tahu saja dengan begitu Ziva jadi bisa cepat lupa sama luka yang Gani torehkan di hatinya. Bagaimana pun, Ziva harus move on dan melanjutkan hidupnya," balas Tari.

"Iya, aku tahu kok. Keluhanku barusan bukan karena enggak mendukung Ziva supaya cepat move on. Keluhanku barusan terjadi karena aku belum pernah menghadapi obrolan atau pembicaraan yang random dengan seseorang. Lah kok Ziva dan Raja yang nyata-nyata adalah sosok yang selalu serius malah bisa membicarakan hal-hal random seperti itu? Aku jadi suka bingung sendiri, Tar," jelas Hani.

Tari pun tertawa pelan, lalu memberi kode pada Hani saat melihat Rasyid dan Mika yang baru keluar dari rumah Wagiman dan Mugi. Mereka kembali ke halaman rumah Pak RT dan kembali berkumpul bersama Raja dan Ziva yang sudah berhenti membicarakan hal yang tadi didengar oleh Tari dan Hani. Heru tiba tak lama kemudian, karena tadi dia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa laporan. Heru dan beberapa Polisi lain yang ikut bersamanya langsung mendekat ke arah mereka berenam ketika keluar dari mobil.

"Apakah keadaan masih aman sampai sekarang?" tanya Heru.

"Alhamdulillah, sampai detik ini semuanya masih aman, Pak Heru. Tapi bagaimana pun keadaannya, kita tetap harus waspada," jawab Rasyid, mewakili yang lainnya.

"Insya Allah malam ini semuanya akan diselesaikan, Pak Heru. Bapak tenang saja," tambah Tari.

Pak RT pun keluar dari dalam rumahnya dan ikut bergabung kembali seperti tadi.

"Semua warga sudah saya pesankan untuk tidak keluar malam ini dari rumah mereka masing-masing. Demi menjaga keamanan dan keselamatan, sebaiknya mereka memang tetap di rumah saja sampai keadaan benar-benar aman," ujar Pak RT.

"Itu keputusan yang benar, Pak RT. Memang sebaiknya ...."

"KELUAR KAMU PEREMPUAN KURANG AJAR!!! HADAPI AKU SECARA LANGSUNG KALAU KAMU MEMANG PUNYA NYALI!!!"

* * *

TELUH BERAS KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang