18 | Mengawasi Diam-Diam

1.5K 152 1
                                    

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Makhluk yang tadi dilihat sama Mbak dan Masnya, ada di luar rumah Mbah Sarjan?" Pak RT tampak sedikit ketakutan.


"Pak RT tenang saja. Makhluk itu hanya akan ada di sana. Dia tidak akan ke mana-mana jika tidak diperintah oleh orang yang memeliharanya. Maka dari itulah kita hanya perlu memperhatikannya di sini saja. Toh saat ini saya memang belum berniat melakukan apa-apa. Orang bernama Mbah Sarjan itu harus menyerah dengan sendirinya, agar teluh beras kuning yang dia kirimkan kepada warga di Desa Gebang bisa dibatalkan," jelas Ziva, tampak begitu tenang.

Pak RT pun mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda bahwa saat itu dirinya telah paham dengan penjelasan yang Ziva berikan. Raja kini kembali menatap ke arah Ziva setelah tadi ikut mendengar bagaimana cara wanita itu memberi penjelasan kepada orang yang awam seperti Pak RT tentang ritual teluh.

"Kamu sudah sering sekali menghadapi hal-hal seperti ini sebelumnya?" tanya Raja.

"Sangat sering," jawab Ziva.

"Sudah berapa lama, sangat sering yang kamu maksud?"

"Sejak aku bekerja bersama yang lainnya. Tepatnya, setelah aku lulus SMA. Tari membentuk tim ini dengan anggota utama lima orang yang terdiri dari aku, Rasyid, Mika, Hani, dan dirinya sendiri."

Raja tampak sedang menghitung usia Ziva berdasarkan tahun lahirnya.

"Sekarang usiamu dua puluh lima tahun. Kamu lulus SMA usia delapan belas. Berarti kamu sudah menjalani pekerjaan ini selama tujuh tahun," gumam Raja.

"Mm ... itu benar. Setelah membentuk tim ini, Tari selalu mencari partner untukku agar aku tidak bekerja sendirian. Tapi sejauh ini belum ada yang bisa bertahan lama di sisiku. Semuanya mengundurkan diri atau diberhentikan setelah melewati dua atau tiga kasus. Kamu adalah partner ke dua puluh tiga yang bekerja bersamaku dalam kurun waktu tujuh tahun. Entah kamu akan bertahan berapa lama di dalam tim ini nantinya," ujar Ziva.

Raja pun tersenyum, meski telah berupaya untuk menahannya sekuat tenaga.

"Insya Allah aku akan bertahan sangat lama. Bekerja bersama kamu jelas bukan sesuatu yang sulit untuk aku lalui. Oh ya, kamu tidak mau tanya tentang aku? Aku sudah tanya-tanya tentang kamu sejak tadi," tawar Raja.

"Aku mau. Tapi saat ini kita sebaiknya fokus dulu untuk memperhatikan makhluk itu. Ayo, sebaiknya kita mengawasi makhluk itu lebih dekat," ajak Ziva.

"Bagaimana dengan Pak RT?"

Raja kini menatap ke arah Pak RT yang tampak sudah memucat sejak tadi.

"Pak RT kembali saja ke desa. Nanti kami akan kembali sendiri ke sana setelah selesai mengawasi makhluk peliharaannya Mbah Sarjan itu," Ziva memberi izin.

"Baik kalau begitu, Mbak. Saya akan kembali ke desa sekarang juga. Monggo," pamit Pak RT.

Setelah Pak RT pergi, Raja dan Ziva pun benar-benar mendekat diam-diam ke arah rumah milik laki-laki yang sering dipanggil Mbah Sarjan. Mereka berdua mengendap-endap memasuki pagar ynag sudah rusak dari bagian samping rumah tersebut. Rumah itu benar-benar tidak terawat dan banyak ditumbuhi rumput-rumput liar. Raja dan Ziva kini hampir tiba di bagian depan rumah, lalu memutuskan mengintip dengan hati-hati dari balik tumbuhan alang-alang yang cukup tinggi.

"Menurutmu, apakah itu yang bernama Mbah Sarjan?" tanya Raja, berbisik tepat di telinga Ziva.

Ziva pun menoleh dan ikut berbisik tepat di telinga Raja.

"Iya, itu pasti dia. Karena menurut Pak RT dia sudah lama tinggal di sini dan hanya sendirian."

Laki-laki itu tampak mengangkat sebuah wadah tanah liat yang mengepulkan asap putih. Dia menaburi sesuatu yang membuat perhatian makhluk bertaring tadi menjadi terarah kepadanya.

"Apa itu?" Raja kembali berbisik.

"Sepertinya itu kemenyan. Dia terus membakar kemenyan itu agar makhluk perliharaannya merasa betah berada di sisinya dan bisa dia perintah sesuai dengan yang dia inginkan," jelas Ziva.

"Menurutmu dia akan menyuruh makhluk itu melakukan sesuatu lagi, hari ini?"

"Ini sudah jam lima lewat lima belas menit. Tentu saja makhluk itu akan dia suruh membuat para korban yang masih sakit merasa tersiksa, saat waktu maghrib tiba. Saat waktu maghrib seperti itulah waktu paling rentan yang harus dihadapi oleh korban teluh."

Ziva pun segera menarik lengan Raja agar ikut dengannya keluar dari halaman rumah Mbah Sarjan. Mereka kembali mengendap-endap seperti tadi, agar tidak menimbulkan kecurigaan.

"Kita mau ke mana? Kembali ke desa?" tanya Raja, yang mulai menstarter motornya.

"Iya. Kita harus sampai di sana sebelum makhluk itu kembali lagi," jawab Ziva.

Motor itu segera melaju ke arah menuju Desa Gebang. Ziva mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Tari.

"Halo, assalamu'alaikum Ziv. Ada apa?" tanya Tari.

"Wa'alaikumsalam, Tar. Tolong beritahu Rasyid dan Mika untuk bersiap-siap di rumah Pak Mugi dan Pak Tarjo. Saat Raja tiba di sana, dia akan bersiap untuk ke rumah Pak Wagiman. Kita akan meruqyah ketiga korban itu sebelum waktu shalat maghrib benar-benar tiba," jawab Ziva.

"Oke. Aku akan menyuruh Rasyid dan Mika untuk bersiap-siap. Ruqyahnya pakai sisa air yang sudah didoakan, 'kan?" Tari ingin memastikan.

"Iya. Pakai sisa air yang sudah di doakan, Tar. Aku tutup dulu teleponnya, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah selesai menghubungi Tari, Ziva pun kembali menyimpan ponselnya pada saku celana. Ia kemudian menatap Raja melalui pantulan kaca spion.

"Ja, kamu siap untuk membantu proses ruqyah terhadap Pak Wagiman, 'kan?" tanya Ziva.

"Insya Allah aku siap, Ziv. Lalu, kamu akan berada di mana saat proses ruqyah terhadap ketiga korban itu dilaksanakan?" tanya Raja.

"Aku akan berada di luar ketiga rumah itu, Ja. Tari dan Hani juga akan ada bersamaku," jawab Ziva.

Motor itu akhirnya tiba di Desa Gebang. Raja langsung pergi ke rumah milik Wagiman, setelah melihat Rasyid dan Mika yang sudah siap di rumah milik Tarjo dan Mugi. Pintu ketiga rumah itu kembali ditutup rapat setelah ketiga pria tadi masuk ke sana. Tari dan Hani meminta warga untuk menunggu saja di depan rumah Pak RT dan tidak mendekat ke halaman rumah ketiga korban tersebut. Ziva berdiri di halaman rumah Tarjo, tepat di tengah-tengah antara halaman rumah Mugi dan Wagiman. Proses ruqyah terhadap ketiga korban sudah dimulai di dalam rumah itu. Teriakan-teriakan dari semua korban yang sakit pun terdengar sangat keras hingga ke rumah seberang. Beberapa orang yang mendengar suara-suara teriakan, mendadak bisa membayangkan seberapa sakit yang dirasakan oleh ketiga korban akibat menerima teluh beras kuning tersebut.

Ziva membaca doa dan ayat kursi di dalam hati berulang-ulang kali. Ia tahu bahwa sebentar lagi akan ada yang datang secara langsung ke hadapannya. Karena proses ruqyah yang sedang berlangsung sudah membuat ritual teluh beras kuning hampir tidak bisa dilanjutkan.

* * *

TELUH BERAS KUNINGWhere stories live. Discover now