40. Papa dan Mama

11.3K 533 8
                                    


“Saaa ... ya ampun, lo kemana aja?” Naura berlari dan memeluk Bellissa yang baru masuk kelas.

Yang kemudian, di susul Zarra menghampiri keduanya.

“Liburan,” sahut Bellissa santai.

“Sheryl bilang lo sakit, tapi gue nanya sama pak Gyan,” wali kelas mereka. “Katanya lo ada acara keluarga. Mana yang bener?” tanya Zarra.

“Em, mana nggak bisa dihubungi sama sekali, sok misterius banget. Lo nggak mikir apa kalau kita khawatir?” sambung Naura sembari melepaskan pelukannya dari tubuh Bellissa.

“Sorry,” Bellissa menatap kedua temannya dengan tidak enak hati. “Gue ... benar-benar ada urusan aja. Nggak sempet pegang ponsel.”

“Urusan keluarga? Kok Sheryl nggak di ajak?” tanya Naura lagi.

Bellissa berjalan ke bangkunya, diikuti Naura dan Zarra yang masih penasaran dan banyak yang ingin ditanyakan.

“Gue ... tinggal sama Papa sekarang.” ucap Bellissa sembari meletakkan tas dan duduk di bangkunya yang selama tiga hari ditempati Naura.

“Kenapa, ada masalah di rumah nyokap lo?”

“Lo ... berantem sama Sheryl?” Naura menambahkan.

“Em,” Bellissa mengangguk. “Ada masalah kecil.”

Melihat Bellissa yang tidak tidak nyaman dan belum mau membagi masalah keluarganya lebih jauh lagi, Zarra dan Naura berhenti bertanya tentang topik tersebut.

“Eh, tapi, Sa, sehari setelah lo nggak masuk, Arrion juga nggak masuk. Ini nggak ada hubungannya sama Arrion, kan?”

“Kalian ... nggak apa-apa, kan?”

“Kita putus.” sahut Bellissa. Lalu tersenyum setelah menghela napas dalam. Seolah apa yang dikatakannya bukan masalah yang berarti. “Dan ... Arrion balik ke Itali.”

★★★

“Mas!”

Liam yang baru pulang kerja dan akan masuk kedalam rumah, urung dan menoleh mendengar ada yang memanggilnya.

“Kamu—”

“Bisa kita bicara sebentar?”

Liam mengangguk, meski masih terkejut dengan kedatangan wanita itu. Namun, dia bisa langsung menebak maksud dari kedatangannya.

“Masuk aja,” ucapnya melebarkan pintu, mempersilahkan masuk.

“Nggak perlu,” tolak Kaluna, mantan istrinya. “Kita bisa ngobrol di sini.” sambungnya sembari duduk di salah satu kursi teras rumah.

Liam kembali mengangguk. “Kamu mau minum apa? Biar aku—”

“Nggak perlu. Aku datang bukan untuk berbasa-basi. Duduk!” potong Kaluna dingin.

Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menurut.

Hening selama beberapa saat.

Detik demi detik terbuang dengan kekosongan. Mantan pasangan suami istri itu sama-sama terdiam.

“Bellissa ... baik-baik aja?” ucap Kaluna akhirnya.

“Hm.” Liam bergumam. “Bellissa baik-baik aja.”

“Dia ... ada ngomong sesuatu?”

“Nggak,” sesaat Liam menoleh pada Kaluna yang hanya menatap lurus ke depan. “Kalian bertengkar?”

“Kami ...” Kaluna menggantung ucapannya lama. “Hanya berbeda pemahaman. Bellissa hanya sedang marah, dia nggak terima aku menasehatinya.”

Satu sudut bibir Liam tersungging kecil. “Ada lebam kemerahan di pipi kiri Bellissa,” pria itu menatap Kaluna. Berucap rendah, namun ada emosi yang kentara yang ditahannya. “Kamu memukulnya?”

PRICELESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang