21. Papa | End of S1

2.6K 273 33
                                    

⚠️ media bisa jadi sensitif untuk beberapa orang. seperti biasa, urut sesuai no * (bintang) ada di bagian bawah chapter ini.

additional content warning;

alur cepat // adegan kekerasan // menyebut istilah medis // sedikit darah

一°一
.
.

Kaki yang dilindungi sepatu pantofel melangkah tanpa tau alasannya pergi ke tujuan. Dia diarahkan ke sebuah ruang dan menemukan Tyan duduk di bangku depannya. Kedua siku lelaki bertato itu bertumpu paha, badan membungkuk, dan jemari tangan menyisir rambut ke belakang.

"Tyan."

Panggilan yang membuat si empunya nama mendongak. Tanpa salam sapa setelah sekian lama tak jumpa, dia lanjutkan, "Gue tadi ke kamarnya Calvin tapi kata ners Calvin di ICU. Anak gue kenapa, Yan?"

Tyan menyelidiki wajah pemilik tubuh menjulang di hadapannya itu. Tidak salah lagi. Orang itu kakak sulungnya.

Tyan hembuskan napas kuat-kuat dari hidung seraya tersenyum miring. "Anak lo? Anak gue kali."

"Mana anak gue?" Otis menekan setiap kata. Kata sabar sedang menghilang dalam situasi ini.

Lantas Tyan berjalan ke pintu untuk kemudian dia buka. Tanpa diperintah pun Otis mengikuti. Berhenti di sebuah ruang perawatan intensif yang dilengkapi kaca besar tembus pandang.

Dagu Tyan menunjuk ke arah dalam ruang. Seketika dunia Otis runtuh melihat siapa yang terbaring di ranjang.*1 Jas mantelnya melorot dari lengan, begitupun tas kerja yang sedari tadi ditenteng.

Baju bagian leher yang dipakai Tyan menjadi sasaran amarah Otis. "KENAPA BISA GITU?! TIGA HARI LALU CALVIN MASIH BISA NELPON GUE! LO NGGAK BECUS JAGA ANAK GUE!"

"Oh. Tiga hari lalu? Sore?" Tidak dijawab, tapi Tyan tau jawabannya adalah benar. "Berarti lo yang bikin Calvin tiba-tiba drop parah! LO一"

"BERHENTI!" Suara parau menginterupsi. Diana menengahi kedua putranya yang saling melontar teriakan tak tau tempat. "Kalian berantem di sini nggak bakal bikin Calvin bangun!"

"Ma ... Maksud Mama apa?" Otis lepaskan adiknya dan berpaling ke sang Ibu. "Kalo tau Otis pulang Calvin pasti bangun, ma. Dia sendiri yang bilang kangen, mau ketemu Otis."

Diana menangis tersedu-sedu, tak tatap wajah sulungnya, dan tenggelam di pelukan suaminya.

"Ma, anakku kenapa?" Suara Otis melirih, tersirat pedih.

Jika di ruang itu harus menjaga ketenangan, maka Tyan geret paksa kakaknya tinggalkan ICU. Pun Otis mengikuti sampai keduanya berhenti di rooftop. Mereka benar-benar butuh tempat untuk melampiaskan emosi.

"ANAK GUE KENAPA?!" Otis mengulang. "Drop cuma gara-gara gue tolak teleponnya?! Gue udah coba nelpon balik tapi nggak diangkat, padahal udah gue sempetin di tengah kebut kerjaan! Harusnya gue yang marah!"

Tyan langsung luncurkan kepalan tangan, mengenai sudut bibir kakaknya cukup keras hingga mengeluarkan darah.

"LO NGENTENGIN TELEPON ANAK LO SENDIRI! SINTING!" Dengan hembusan napas memburu Tyan muntahkan frustasinya.

Terus menyambung, "Calvin mau ngabarin soal operasi dan minta kekuatan dari lo! Tapi lo malah mentingin kerjaan, bikin dia ngerasa dibuang, tertekan, akhirnya collapsed! Lo biarin Calvin berjuang sendiri dengan batesan hidup dan mati yang tipis setipis nurani lo!"

Urat-urat leher Otis mengencang. Begitu pula rahangnya. "Gue sibuk karena nyelesaiin kerjaan biar bisa balik buat ketemu Calvin. Gue nggak sempet ngabarin soal itu一"

Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾Where stories live. Discover now