Bab 1: Tentang Hutang

142 24 7
                                    

***

"Dengan mengutang, hidup menjadi menantang."

***

Di sinlah aku. Di sebuah ruangan persegi panjang bercat abu-abu berisi deretan meja belajar.


Tunggu! Meja belajar? Aku rasa itu bukanlah kata yang benar, nyatanya mereka semua tidak ada yang tengah belajar. Ya, mereka. Manusia-manusia berseragam putih abu-abu, sama sepertiku.

Heran dengan mereka yang menghabiskan tenaganya setiap pagi. Bisa-bisanya sekumpulan gadis sebayaku di samping terus saja nyerocos membicarakan topik-topik dari A sampai Z; ada lagi yang membuka kamera handphone-nya lalu berjoget-joget di depan papan tulis, mentalnya kuat banget tapi pas giliran presentasi nunduk; belum lagi yang bernyanyi tanpa arah nada dan berlarian ke sana kemari; dan parahnya lagi sampai-sampai ada lapangan bola, pemain, plus wasitnya di ruangan yang dijuluki sebagai kelas ini. Nyatanya hanya aku yang berdiam diri di sini, sesekali membuka-tutupkan laptop yang kutumpu di atas paha. Terus menerus merutuki otakku yang buntu memikirkan arah cerita yang akan kutulis.

Sudah menjadi kebiasaanku jika disuruh mikir pasti ngehalu, jika disuruh ngehalu pasti mikir. Asem!

Bilamana aku tidak menyelesaikan tulisanku hari ini, para pembacaku pasti akan marah besar dan pada minggat. Aku memanglah bukan penulis handal yang terkenal, malah-malah pembacanya hanya hitungan jari. Aku menulis untuk diriku sendiri, tak peduli apa kata orang dan tak berharap lebih pada tulisan yang memeperihatinkan ini, namun jika ada yang meminang karyaku sih, aku mau-mau aja, hehe.

Oke. Balik ke inti.

Oh ya, kita belum berkenalan, aku Haina. Panggil aja 'Haina' atau 'Na' atau juga 'Hai', nanti aku jawab 'hai juga'.

Cih, garing!

Aku bukan orang terkenal di sekolah ini. Karena aku tak cantik, gak banyak tingkah, gak banyak omong dan kepintaraku cuma pas-pasan. Gitu juga kalo lagi hoki. Itu sih, yang aku rasa. Bisa dibilang, aku sedikit introvert. Makanya menulis menjadi hobiku. Sebab, dengan menulis, kita; selebihnya aku bisa mengungkapkan semua rasa yang tak bisa diutaran lewat perkataan. Seperti halnya aku yang saat ini mengaguminya bahkan mencintainya dengan cara paling sepi. Pecundang memang. Ya, aku akui jika aku seorang pecundang, seseorang yang tidak bisa mengutarakan perasaannya. Apa dayaku?

Hanya bisa memperhatikannya dari jauh dengan senyum miris.

Dia Kenzi. Biasa dipanggil Ken. Tidak seperti namanya, dia tak termasuk deretan orang ganteng di kelasku. Dia hanyalah lelaki biasa yang berwajah datar, mata yang berkantung, cara jalannya yang sedikit bungkuk dan tak punya semangat. Terus terang itu realistis.

Selain itu dia adalah seorang gamer. Gak di kelas, gak di kantin, gak di mana-mana selalu saja ada benda pipih di tangannya, apalagi jika buka nge-game. Seleraku mungkin memang terlihat buruk, tapi nyatanya aku benar-benar menyukainya. Akan tetapi aku pun tak tahu alasan mengapa aku mencintainya sejauh ini.

Tring

Sebuah notifikasi dari pembaca kembali bermunculan dari laptop butut ini. Lagi-lagi mereka meminta untuk melanjutkan tulisanku. Ah rasanya tak keberatan dengan hal ini, sebab setelah sedikit berhalusinasi, ide-ide dipikiranku dengan cepat bersarang menimbulkan kembali rasa semangatku untuk menulis. Jariku dengan lancarnya menari di atas keyboard, menorehkan secercah karya di sebuah 'aplikasi oren'. Namun, semangatku kembali meredup tatkala bel sekolah bersuara menyatakan jika meja belajar akan benar-benar dipakai untuk belajar.

.
.
.

Seperti biasa, pelajaran pertama selalu berlangsung secara khidmat. Tapi aku gak tahu ini belajar apa, ngomongin apa, yang pasti mereka semua terlihat berkonsentrasi. Apa cuma aku yang gak ngerti ucapan Pak Tua di depan, yang cuma bicara 'ini begini, itu begitu' terus tiba-tiba ngasih soal. What the fuck!

Karena tak mengerti, aku pun terpaksa pura-pura mengerti dengan cara diam dan sesekali melirik lelaki di sebrang samping sana. Tangan kurusnya yang tetap kekar itu diam-diam berada di bawah meja, memainkan jari-jarinya untuk game.

Namun, secara tiba-tiba sang Ketua Kelas berdiri sambil mengacungkan tangan, memanggil Pak Tua yang sedang menulis di depan sana. Ia memberitahukan jika Ken sedang bermain game dijam pelajarannya. "Kalau gak mau masuk dijam pelajaran saya, kamu silahkan boleh keluar!" ucap Pak Tua dengan sedikit geraman. Sebenarnya, aku lupa siapa nama Pak Tua itu, yang pasti dia tinggi, kurus kerontang, botak dan sudah tua. Makanya kupanggil dia dengan sebutan 'Pak Tua'.

Sial. Sungguh sial. Kali ini alam tak berpihak padamu, Ken. Sungguh sakit melihatmu teriris. Namun, rasa sakitku ini dengan cepatnya kau gantikan dengan rasa takjub. Takjub melihat tindakanmu yang tak seorang pun dapat menduga. Pada umumnya jika sudah terjadi persengitan seperti ini sang murid hanya akan menunduk. Namun apa yang terjadi saat ini sangat bertolak belakang dengan hal yang biasa berlaku. Bisa-bisanya engkau wahai Crush-ku berdiri dari singgasanamu lalu berjalan dengan santuy alias santai, kalem dan rileks melewati Pak Tua dengan kedua bola matanya yang hampir lepas itu.

Sungguh! Kau begitu tampan. Ucapku dalam hati. Andai saja aku bisa ikut bersamamu, pergi dari penjara suci ini.

Hm. Tiba-tiba aku terkekeh melihatnya dan melihat mereka yang masih tercenung. Rasanya hanya aku yang tahu sikapnya seorang. Bayangkan saja, dari mulai sekolah dasar sampai menengah atas, aku terus menerus ditakdirkan untuk satu sekolah, bahkan satu kelas bersamanya. Apakah Tuhan ingin kita bersama? Yang aku takutkan akhir kita yang mungkin saja tak sama.

Jadi ingat masa dulu pas waktu sekolah menengah. Meskipun kita selalu sekelas, kita amatlah jarang berbicara satu sama lain. Bahkan yang kuingat, semasa sekolah menengah kita hanya berbicara satu kali ketika di dalam kantin. Kala itu dia menghampiriku dan meminta tolong; tapi sedikit memaksa untuk meminjamkan uang sebesar dua ribu rupiah untuk membeli es cekek pada masa itu. Katanya sih, kecapaian habis turun ke lapangan buat tiga kali nendang bola. Payah. Lalu kata yang paling aku ingat saat itu, dia bilang, "Dengan mengutang, hidup jadi menantang". Sungguh! Makhluk paling freak yang aku temui!

Ah, rasanya baru kemarin kejadian itu, tiba-tiba udah kelas 3 SMA aja.

❄❄❄

Hai readers! Cerita ini aku ikutsertakan dalam event #gloriouswritingcontest2023 selama tiga bulan ke depan. Maka daripada itu, aku minta vote dan komen banyak-banyak:>




I Have a Crush on You [COMPLETED]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz