Aku Adalah Aku

6 0 0
                                    

Zian merasa dirinya selalu tersesat saat mencoba untuk mencari tahu siapa dirinya. Ia mencoba untuk mengingat masa lalu, entah-entah mungkin sesuatu terjadi pada dirinya namun ia melupakan hal itu, karena menganggapnya hal yang sepele.

"Aku sebenarnya siapa? Apakah benar aku memiliki sesuatu yang berbeda? Kenapa selalu ada yang memanggil jiwaku?" Cecarnya pada diri sendiri.

Keesokannya, Zian datang ke sekolah lebih awal daripada biasanya. Zavanya juga datang sangat awal, ia baru saja selesai untuk melakukan penjagaan malam pada gerbang obice. Ia melihat, Zian yang sedang bermain basket sendirian, ia pun berinisiatif mendekat perlahan.

Zian melihat Zavanya berjalan masuk ke dalam lapangan, lalu duduk di bangku yang paling dekat dengannya saat ini. Tapi ia tak mengacuhkannya sama sekali, ia mengalihkan pandangan dan terus bermain-main dengan bola basketnya.

Karena lelah ia pun beristirahat sejenak, sengaja duduk di dekat Zavanya. Zavanya tersenyum tipis, seraya mengambil air minum dan memberikannya pada Zian, "Ambilah, aku tahu kau pasti haus."

"Apa ini, kenapa aku merasakan magis dalam diri Zian, sangat kuat," batinnya, mengernyitkan dahi.

"Kenapa? Kau melihatku seperti orang aneh," celetuk Zian, membuyarkan pikiran Zavanya.

Zavanya tersentak, matanya melebar, tersenyum manis, dan menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba jantungnya berdegup karena terkejut.

Anak-anak lain sudah mulai berdatangan, Zavanya pun langsung meninggalkan Zian. Ia tidak mau ada rumor datang padanya, rumor sekolah benar-benar sangat menyebalkan, ia benar-benar benci pada itu.

"Tunggu, braceletmu," panggil Zian, memegang bracelet Zavanya yang tertinggal, namun Zavanya tidak mendengar. "Ini benar-benar indah, aku belum pernah menemukan yang seperti ini."

Sepulang sekolah, Zian diam-diam mengikuti mobil yang Zavanya dan teman-temannya naiki. Sampai di sebuah manor besar, ia turun beberapa saat setelah mereka semua masuk ke manor, agar tidak dicurigai.

Zian menekan bel sambil terus memegang bracelet Zavanya. Beberapa saat kemudian, Cherylda datang membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia, karena yang datang adalah Zian, laki-laki yang baru beberapa hari lalu bertengkar hebat dengan Aldrich.

"Mau apa kau kemari?" ketusnya. "Tunggu, itu bracelet Zavanya bukan? Bagaimana bisa itu ada padamu?" tanya Cherylda, curiga.

Zian memutar bola matanya malas, menatap Cherylda, "Aku ingin mengembalikan ini, tadi tertinggal di bangku lapangan," jawab Zian ketus, seraya melempar bracelet.

"Sangat kuat, kurasa memang benar-benar dia orang yang dicari," batin Cherylda, menggenggam erat bracelet.

Cherylda langsung berlari, dan memberikan bracelet pada Zavanya. Zavanya sangat berterimakasih, dan bertanya bagaimana Cherylda menemukannya.

"Bukan aku, tapi Zian, dia bilang kau meninggalkannya di bangku lapangan," jawabnya, sambil mengangkat alis.

"Ah Zian? Aku harus berterimakasih padanya besok."

***

Zavanya menemui Zian, sepulang sekolah. Seperti yang sudah direncanakan, mereka akan memancingnya ke manor dan membuat magis yang selama terpendam akan muncul. Helena sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.

"Hai Zian." Sapanya.

"Zavanya? Aku tahu kau pasti ingin berterimakasih, ya sama-sama," jawab Zian, dengan percaya diri lalu kembali memainkan ponsel.

"Bukan hanya itu saja, nanti sore ikutlah aku ke sebuah tempat, aku yakin kau akan menyukainya," pinta Zavanya, sambil tersenyum mendekat pada Zian.

"Ya, aku akan menjemputmu, nanti," jawab Zian, beranjak, lalu meninggalkan Zavanya begitu saja.

Zavanya terbelalak, matanya berkedip dengan sangat cepat. Itu benar-benar diluar dugaan, ia kira Zian akan menolaknya mentah-mentah, tapi langsung mengiyakan hanya dengan satu kalimat permintaan saja.

Sore hari, Zian menjemput Zavanya ke manor. Dress hijau dengan lengan dress yang transparan, membuat Zavanya terlihat sangat cantik. Zavanya membawa Zian ke Obice Forest, hutan tempat dimana gerbang Obice berada.

Helena dan Aldrich sudah menyiapkan sebuah lapangan basket yang sangat bagus disana. Dekat dengan sungai, dan dipinggirnya terdapat banyak tumbuhan yang merambat secara alami, itu semua berkat magis alam Zavanya.

Tanpa basa-basi, Zian melepas kemeja dan kaosnya, memperlihatkan badannya yang begitu atletis. Ia langsung bermain bola basket tanpa memerdulikan Zavanya lagi. Zavanya bingung ia harus bagaimana, "Huh, sungguh pemandangan yang memanjakan mata," desisnya.

Setelah satu jam lamanya, Zavanya memberikan isyarat pada yang lain untuk segera menyergap Zian. Aldrich mengurungkan karung di kepala Zian. Zavanya dengan magis alamnya, melilitkan akar pohon pada tubuh Zian. Mereka membawa Zian menuju tempat yang dekat dengan gerbang Obice.

Elvano membuka karung yang menutup Zian. Nafas Zian terengah, ia sangat terkejut mengetahui bahwa ia sedang di culik oleh mereka. Helena mulai menyalakan obor api yang mengelilingi mereka saat itu.

"Sialan, kalian ternyata menjebakku, apa yang akan kalian lakukan. Bunuh saja aku, kalau kalian masih dendam denganku," teriaknya, dengan nafas terengah.

"Kami tidak segila itu untuk membunuhmu, kau adalah makhluk yang kami cari," ucap Helena, mendekat ke telinga Zian.

Perasaan emosi pada diri Zian mulai memuncak, tubuhnya mengalami perubahan fisik, ia terlihat lebih kekar daripada sebelumnya. Matanya berubah menjadi warna kuning, kuku-kukunya mulai memanjang, giginya juga mulai memunculkan taring.

Helena tersenyum puas, melihat perubahan pada Zian. Zian mengerang dengan keras, ia takut pada api dan asap yang mulai memenuhi tempat itu. Tiba-tiba Cherylda mengeluarkan cermin di hadapan Zian.

"Kau adalah bagian dari kami Zian." Ucap Elvano.

Mereka satu persatu memperlihatkan magis-magis mereka. Elvano dengan magis kristal, Aldrich dengan magis tanah, Cherylda dengan magis angin, Helena dengan magis bayang suara, dan Zavanya dengan magis alamnya.

Zian tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Penglihatannya seketika buyar, ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Mereka menghentikan magis, dan bergegas menolong Zian.

"Apa mungkin dia adalah anak dari raja Wolf?"

"Itu tidak masuk akal menurutku, tapi bisa saja."

"Magisnya benar-benar kuat, padahal dia manusia blast blood."

Zian terbangun, dengan penglihatannya yang masih samar-samar. Ia mendengar semua pembicaraan mereka. Ia terbangun dan langsung berkata, "Berhenti membicarakan monster sepertiku."

Cherylda menghela nafas dan menghampiri Zian yang tengah kesakitan. Cherylda mencoba untuk menjelaskan bahwa dia bukanlah monster, melainkan manusia magis, yang memiliki magis serigala.

"Omong kosong apa yang sedang kalian bicarakan? Kalian kira, aku akan percaya dengan kalian?" Cecarnya.

"Bagaimana bisa kau tetap tidak percaya, padahal kami sudah menunjukan secara jelas bahwa kau dan kami adalah manusia magis, pikirkan itu bodoh, tidak ada diantara teman-temanmu yang sekuat dan secerdas dirimu bukan?" Tegas Helena.

Zian terdiam sejenak, ia tidak tahu harus percaya atau tidak pada perkataan mereka. Tapi melihat apa yang terjadi padanya, ia seharusnya tidak menyangkal bahwa dirinya memang berbeda daripada yang lain.

"Aku ingin pulang, beri aku waktu, aku akan meminta penjelasan pada kalian," ujarnya.

"Ya, kami akan menunggumu, pangeran," ucap Helena, yang asal berbicara.

"Aneh." Balasnya, singkat.






Unicorn Prince And The Drimtherra KnightsWhere stories live. Discover now