"Buka, Mas, aku mau turun," Pinta Naqiya sebab dirinya tak bisa membuka pintu kalau masih dikunci dari sisi kemudi.

Bara tak menjawab, dirinya membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah muda. "Jangan ngerepoti Abi sama Umi. Nanti Mas transfer lagi."

"Abi sama Umi punya uang dan masih mampu biayain aku," Tolak Naqiya pada uang tersebut. Buat apa memberikan uang pada istri yang ingin diceraikan bukan?

Bara berdecak dan menyelipkan uang tersebut di tas Naqiya dengan paksa. "Kamu itu punya suami, hidupmu tanggung jawab suamimu, bukan Abi sama Umi lagi," Jelas Bara dengan tegas.

"Lagian sebentar lagi juga janda," Celetuk Naqiya tanpa pikir panjang akibat dari ucapannya barusan.

"Turun," Ucap Bara setelah membuka pintu mobilnya. Tentu, Naqiya segera turun dan mengetuk rumah orangtuanya lagi.

Ia sudah membawa syarat yang Abinya inginkan. Tak mungkin diusir kembali.

Namun, pemandangan yang ia lihat kini justru membuatnya terenyuh. Bara menutup pintu penumpang sembari membawa baby seat yang sudah dilepas dan terdapat bayinya tidur di sana.

Buru-buru Naqiya menggelengkan kepala. Memang sudah seharusnya Bara begitu 'kan? Kalau perlu dari awal. Jangan baru taubat setelah Naqiya protes keras begini.

"Bagus deh, belajar ngurus anak,"

Satu hal yang harus Bara ingat, orangtua Gaza bukan hanya Naqiya. Peran Bara juga sangat berpengaruh di sana.

[ B A Y I D O S E N K U 2 ]

"Naqiya mungkin butuh waktu buat nenangin dirinya dulu, Bi," Ucap Bara dengan santunnya pada sang mertua. "Saya paham, pikirannya lagi kacau. Bisa makin nyiksa Naqiya kalo dipaksakan pulang ke rumah."

Abi Muh mengangguk-anggukan kepalanya. Dulu mungkin ia murka membabi-buta pada pria brengsek ini. Tapi bagaimana kalau ia menyesal setelah mengetahui betapa bertanggungjawabnya sosok suami dari putrinya ini?

"Ya, nggak papa," Putus Abi Muh. "Yang penting dapat izin dari Mas Bara. Abi itu sayang betul sama putri Abi, jangan sampai dia durhaka sama surganya, karena artinya Abi juga nggak becus didik anak sendiri."

"Terima kasih banyak, Bi," Jelas Bara. "InshaAllah saya sudah kasih izin Naqiya dengan kesadaran saya sendiri."

"Cepat diselesaikan masalah kalian, jangan biarkan berlarut-larut," Jelas Abi memberikan wejangan pada menantunya. "Cucu Abi nginep sini juga?"

Bara melirik putranya yang berada di baby seat tepat di sebelah tubuhnya. Bayi pengertian itu terlelap sedari tadi. "Gaza sama saya, Bi."

"Ya bagus, biar sadar itu Nay kalo anaknya lama-lama ya butuh Ibunya," Tambah Abi sembari mengelus kening cucunya. "Nggak baik lama-lama pisah ranjang."

Bara paham, sangat paham. Dirinya pun tak menginginkan pisah ranjang dari istrinya. Tapi bagaimana kalau Naqiya yang menginginkan itu? Apakah Bara harus egois dengan menahan istrinya? Setelah ia egois memaksakan Naqiya masuk dan terjebak di dunia pernikahan ini?

Jawabannya tidak.

Bara tidak sampai hati menuruti egonya. Dia memang berstatus suami, tapi percayalah, dia bahagia saat Naqiya pun bahagia. Bara ingin, Naqiya pulang setelah hatinya benar-benar memutuskan untuk kembali pada keluarga kecilnya lagi.

Bukan karena paksaan dan dorongan dari Bara. Ia ingin istrinya sadar, bahwa ikatan pernikahan dan ikatan batin antara keduanya sudah begitu kuat. Bukan lagi hanya sekadar hubungan pacaran yang saat putus bisa kembali. Pernikahan tidak sebercanda itu.

Bayi Dosenku 2Where stories live. Discover now