54 | Dino untuk Gaza

Start from the beginning
                                    

"Maaf ya, Dek... Kaki Kakek sudah mulai nggak kuat hehe..." Ucap Kakek tersebut dengan senyumnya yang bahagia kala calon pembeli datang menghampiri.

"Iya nggak papa, Kek," Jawab Naqiya. "Jualan dari jam berapa emang, Kek?" Tanyanya lagi.

"Biasanya dari pagi Kakek sudah keluar," Jawabnya sembari tubuhnya yang bergetar mengambil balon helium yang Naqiya maksud.

Mendengar itu jelas hati kecil Naqiya terenyuh. Dari pagi sampai semalam ini tetapi balonnya masih banyak sekali? Sudah berapa balon yang terjual dari pagi itu?

"Udah terjual berapa, Kek?" Tanyanya lagi pada Kakek tersebut.

Kakek tersebut terkekeh, "Baru satu, Dek... Sama ini Adek beli jadi dua," Jemari keriputnya membentuk angka dua dan menunjukkannya pada Naqiya.

Sudah berjualan dari pagi tetapi baru laku satu saja? Ya Allah, hati Naqiya tak kuasa menahan rasa ibanya. "Pulang jam berapa biasanya, Kek?" Tanya Naqiya lagi sembari mengambil balon yang ia inginkan dari tangan sang kakek.

"Sebentar lagi ini mau pulang, Dek. Cucu saya kasihan di rumah... Sendirian, cuma ada saya, Kakeknya..."

Jadi, kakek ini berjualan sampai selarut ini juga untuk membiayai kehidupan cucunya. Seberat inikah kehidupan di pinggir jalan yang sering Naqiya lihat dari dalam mobil mewahnya?

Naqiya mengobrol-ngobrol dengan kakek tua tersebut karena dirinya juga tidak tahu harus pergi kemana. "Loh, berarti kakek sama cucunya ngekos?" Tanyanya setelah mendengar cerita-cerita kakek itu.

"Iya, Dek," Walaupun kondisinya penuh keterbatasan begini, kakek itu masih sering tersenyum penuh syukur. "Ini jual balon buat beli makan sama bayar uang kos."

Ya Allah...

Memang benar kata orang. Kalau kita mau merasakan nikmatnya bersyukur, cobalah pada malam hari atau waktu subuh keluar rumah dah lihat aktivitas di pinggir jalan. Penuh dengan hamba-hamba Allah yang berjuang mengais rezekinya.

Naqiya menunduk meresapi semua ini. Dirinya sempat berpikir bahwa Tuhan sebegitu kejamnya memberikan takdir seburuk ini padanya. Dirinya berpikir bahwa Tuhan tidaklah adil dan tak ada belas kasih padanya sama sekali.

Sebab, Naqiya selalu membandingkan nasibnya dengan teman-teman sepantarannya. Naqiya kerap kali membandingkan nasibnya dengan nasib orang lain. Hingga akhirnya timbulah perasaan kufur nikmat.

"Ya, dinikmatin aja, Dek... Disyukuri, dijalani, kalo ngeluh juga nggak ada yang berubah 'kan..." Jawab Kakek itu dengan mulutnya yang mulai tak jelas saat berbicara.

Naqiya mengangguk, "InshaAllah saya doain Cucu kakek kelak jadi orang sukses yang bermanfaat."

"Aamiin," Ucap Kakek itu sembari mengusapkan tangannya ke wajah. "Apa-apa Kakek lakukan untuk cucu Kakek, Dek... Kalo Kakek tinggal nunggu aja kapan dipanggil sama yang punya toh..."

Sejatinya, kita hidup untuk mempersiapkan bekal di akhirat nanti. Bukan hidup untuk berlomba-lomba membandingkan nasib masing-masing. Karena manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Itu yang Naqiya sadari.

"Ini balonnya buat anak saya, Kek," Ucap Naqiya sembari mendongak melihat balon lucu tersebut. "Dia suka sama dinosaurus."

Kakek tersebut terkekeh mendengarnya, "Kakek doakan anaknya adek sehat terus, sayang sama Ibunya..."

Naqiya tersenyum sembari mengaminkan doa tersebut. "Berapa tadi, Kek?" Tanyanya sebelum merogoh dompet yang ia bawa.

"Enggak usah, buat anaknya Adek aja nggak papa..." Tolak kakek tua itu sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tentu saja, Naqiya menggeleng. Kakek ini lebih membutuhkan daripada dirinya. Karena tak kunjung memberitahu nominal yang harus ia bayar, Naqiya mengeluarkan uang seratus ribuan beberapa lembar dari dompetnya.

Bayi Dosenku 2Where stories live. Discover now