48 | Tikar Merah

Mulai dari awal
                                    

Orangtua Gaza bukan hanya ibunya! Bara juga punya peran sebagai ayah di dalamnya.

Apakah Bara pikir Naqiya kalau di rumah tak ada pekerjaan lain? Jelas dirinya mengurus Gaza bahkan sembari membersihkan rumah, mengerjakan tugas, belajar untuk ujian, menyiapkan makanan, dan lain sebagainya.

Belum lagi amanah yang Bara titipkan padanya untuk menjaga butik Ibunya.

Kurang apa Naqiya selama ini berbakti menjadi seorang istri?

"Aku dihina jual diri... Difitnah ini itu... Tapi nggak sesakit anak aku dititipin orang lain sama Papanya sendiri, Ya Allah..." Isaknya lagi di dalam mobil kedap suara yang tak seorangpun mampu mendengar isi hati Naqiya.

Lagi, Naqiya mengusap air matanya secara kasar. Memang kata-kata yang Tsania ucapkan padanya kasar dan melukai hati. Namun, Naqiya sudah pernah merasakannya.

Dihina, difitnah, dan dizolimi seperti ini sakitnya sudah pernah ia rasakan. Padahal tak satupun dari mereka yang mengetahui bahwa dirinya di sini adalah korban. Tak ada niat sedikitpun bagi Naqiya untuk merendahkan martabatnya sebagai wanita.

Namun, saat bayinya disinggung, saat bayinya dihina, dan saat bayinya disingkirkan seperti inilah yang membuat hatinya lebih berdarah ketimbang saat harga dirinya dijatuhkan dengan cacian sedemikian rupa tadi.

Apakah setulus ini perasaan seorang Ibu diciptakan Tuhan? Apakah sebesar ini pengorbanan makhluk suci bernama Ibu untuk anak-anaknya hingga sekarang Naqiya pun tak sadar, saat ini bayinya lebih berharga ketimbang dirinya sendiri?

Air mata Naqiya semakin deras saat menyadari hatinya menjadi lembut saat Gaza sudah terlahir di dunia. Apakah Umi Zainab juga merasakan perasaan seperti ini?

"Umi maafin Nay..." Gumamnya dalam air mata mengingat-ingat raut kecewa Zainab saat mengetahui kehamilannya. Ia yakin, apabila ia di posisi Uminya pada saat itu juga akan melakukan apa yang Zainab lakukan.

Hancur hati seorang Ibu apabila anaknya dirusak. Sakitnya seorang anak adalah luka menganga untuk Ibunya.

Dan sekarang Naqiya merasakannya. Ketulusan itu murni Tuhan berikan pada manusia yang memiliki predikat 'Ibu' secara nurani.

Benar saja, saat pikirannya memikirkan sang ibu, ponselnya kini berdering kembali. Bukan, bukan nama Bara di sana, melainkan Uminya di sana.

"Wa'alaikumussalam, Umi," Jawab Naqiya menahan isakannya. Ibunya tak boleh mengetahui kondisi putrinya yang mengenaskan begini. "Tumben telfon Nay malem-malem?"

"Nay dimana?" Tanyanya dari seberang sana.

"Ehem," Naqiya berdehem untuk menjernihkan suaranya. "Di jalan ini, Umi, kenapa?"

"Oalah, yaudah bilang Mas Bara hati-hati nyupirnya," Ucap Ibunya itu. "Umi mau ada pengajian di rumah, kalo Nay nggak sibuk datang ya, sepi rumah kalo sama Abi aja. Keluarga Bang Aufar nggak bisa dateng soalnya, Nay."

Naqiya mengangguk, "Iya, InshaAllah Nay dateng."

"Alhamdullilah, sampaikan ke Mas Bara juga ya, barangkali bisa bantu-bantu hehehe..."

Entah bagaimana Naqiya mengatakan kalau dirinya baru saja meminta cerai dari Bara. Mana mungkin harus datang ke rumah Umi dengan pria itu dan berpura-pura semuanya baik-baik saja?!

"Nay?" Panggil Umi Zainab yang tak menerima balasan dari putrinya. "Nggak usah dipaksa tapi ya, kalau capek nggak usah dateng nggak papa. Yang penting jaga kesehatannya ya, dijaga makannya, Nay jangan stress lagi. Dedek Gaza emang jarang rewel, tapi Umi tau jadi Ibu muda emang nggak mudah."

Bayi Dosenku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang