BAB. 19

53.4K 4.6K 37
                                    

Dityana menepati perkataannya. Laki-laki itu langsung meluncur ke kediaman Juna. Tanpa mengusung kesopanan Dityana mendobrak masuk, berteriak memanggil sang tuan rumah. Beberapa pelayan langsung memperingati dan mencegahnya untuk membuat keributan, namun Dityana tak menunjukkan sedikitpun kegentaran. Laki-laki itu memasuki ruang tamu yang lengang, merasa sedikit getir begitu menyadari betapa mewahnya tempat ini. Siapa yang akan menyadari, di balik kemewahan yang mereka usung terdapat kebobrokan yang tersimpan rapat-rapat.

"Ditya, ada apa ini?!" Raungan keras terdengar, membuat Dityana segera menggeser pandangannya ke arah tangga. Disana, berdiri seorang lelaki yang terlihat kokoh di usianya yang tak lagi muda. Dia lah Junandra Dewantara, sang kepala keluarga sekaligus orang yang menyebabkan seluruh tragedi ini terjadi.

Dityana memicing penuh permusuhan saat dua orang lainnya juga berjalan mendekat. Salah satunya Mahina yang masih mengenakan gaun yang sebelumnya dia kenakan saat pesta.

"Bukankah aku sudah bilang jangan menyakiti Lia?!"

Mendapat hardikan sekeras itu membuat Mahina spontan berjengit kaget, namun sedetik kemudian gadis itu menatap Dityana penuh permusuhan. "Apa masalahnya?! Dia pantas mendapatkannya."

Hanya sekilas, namun Juna sudah bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Lelaki itu mencekal lengan Mahina. "Apa yang kamu bilang, Ina? Kamu menyakiti Lia?"

"Om tahu, hari ini dia melukai Lia lagi. Dan sekarang Lia berakhir di rumah sakit karena demam pasca mengalami syok berat," tukas Dityana.

"Bagaimana keadaannya?" Juna bertanya dengan khawatir.

Dityana mendengus. "Tenang, dia bersama dengan orang yang bisa melindunginya bukan orang yang hanya bisa khawatir tanpa bisa mencegah orang yang menyakitinya."

Juna tercekat. Dia sama sekali tidak bisa menyanggah perkataan Dityana.

Denada, sang nyonya rumah yang melihat betapa tak berdayanya Juna di hadapan Dityana tentu saja tidak senang. Wanita yang tengah memakai piyama itu melangkah maju, menghalangi sosok Juna dari pandangan Dityana. "Kau bertindak seperti ini, memasuki rumah orang lain di malam hari hanya untuk mengurusi anak sialan itu?"

"Anak sialan? Jangan lupa, anak yang kau sebut sialan itu adalah darah daging dari suami yang kau cintai. Menyebutnya sialan sama saja dengan menghina suami mu!"

Mendengar perkataan sarkas yang keluar dari mulut Dityana, membuat Denada seketika merasa berang. "Kau pikir kau siapa?! Jangan lupakan ini, Dityana. Tanpa keluarga ku, kau maupun ibu mu tidak bisa menikmati kehidupan kalian kini."

Dityana berdecih. Meski begitu Dityana tidak bisa menampik apa yang wanita itu katakan. Ibunya hanyalah asisten rumah tangga biasa, setelah semua kesulitan Ibunya akhirnya berhasil menikahi Ayahnya, yang notabennya adalah adik dari Denada. Namun dia berbeda, meski Denada dan seluruh keluarganya tidak pernah sudi menerima kehadirannya dan Ibunya, Dityana tidak pernah peduli. Masih ada Ayahnya yang senantiasa melindungi mereka.

Tapi Arelia berbeda. Tak ada yang melindunginya dari cengkeraman Denada.

Dityana lalu menyipitkan matanya, memperhatikan sedikit bagian tubuh Juna yang tidak bisa Denada tutupi. "Kalau aku jadi Om, aku pasti lebih memilih menyerah sejak lama," katanya penuh ironi.

"DITYANA!!" Raung Denada.

"Aku tidak peduli dengan apapun yang Tante katakan, tapi bukankah ini sudah cukup? Kenapa kalian terus saja menyakiti orang yang jelas-jelas tidak bersalah? Juga..." Dityana menggeser pandangannya kepada Mahina yang senantiasa berdiri kaku tak bergeming. "Aku tahu ini bukan yang kamu inginkan, bukan?"

Begitu pertanyaan itu terlontar Mahina terbelalak. Ada sedikit keterkejutan di sepasang netranya. Seolah ada kegamangan yang mencuat di dalamnya. Namun hal itu tidak bertahan lama karena sejurus kemudian Denada langsung saja mencekal lengannya. Membuat gadis itu seketika kembali pada kedinginannya seperti sedia kala.

"Jangan dengarkan perkataan mereka, Mahina. Mereka yang bersalah. Anak sialan itu sudah menghancurkan hidup kita!" Sosor Denada.

Mendapati hal itu membuat Dityana menghembuskan nafas kasar. "Mahina..." panggilnya dengan sedikit kelembutan yang jarang terjadi.

Mahina mengepalkan tangannya. Nafasnya terengah-engah menahan emosi yang bergumul di dadanya. "Cukup, Kak! Aku memang benci Arelia. Sangat membencinya sampai rasanya aku ingin sekali membinasakannya dari dunia ini. Jangan salahkan aku karena ini, dia yang sudah menghancurkan keluarga kami. Melenyapkan semua kebahagiaan yang kami miliki. Jika Kakak tidak ingin melihat dia terluka karena aku, maka jauhkan dia dariku! Karena Kakak harus tahu, setiap kali mataku melihatnya aku pasti akan menghancurkannya!"

Setelah mengatakan isi hatinya Mahina berbalik pergi, diikuti oleh Denada yang mengekor tepat setelahnya.

Sepeninggal putri dan istrinya, Juna hanya mampu menghela nafas berat. Laki-laki paruh baya itu menopang tubuhnya yang gentar pada pegangan tangga. "Dityana, Om pasti akan menemui Arelia. Kamu tenang saja."

Dityana menyeringai sinis. "Untuk apa, Om? Untuk memintanya memaafkan perbuatan mereka?"

"Kamu tidak tahu apapun, Dityana," tekan Juna penuh peringatan.

Tentu saja, Dityana tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun ketidaktahuannya tidak cukup untuk membuatnya selalu menutup mata seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dityana kembali menaruh atensinya pada Juna.

Seorang Junandra Dewantara, sosok yang selama ini dipandang sebagai seseorang yang begitu hebat nyatanya tak lebih dari sekedar pion yang digerakkan orang lain. Pastinya laki-laki itu tidak seluruhnya tidak bersalah. Demi mendapat kekuasaan yang dia idamkan sejak lama Juna rela menghancurkan dirinya sendiri untuk terikat dengan orang-orang yang salah dan bahkan rela menghancurkan darah dagingnya sendiri.

Dityana jelas tidak bisa mengerti mengapa Juna rela melakukan semua itu. Apakah sebesar itu arti dari sebuah kekuasaan?

"Om, Arelia menyayangi Om. Itu juga alasan kenapa dia bersedia menelan kesakitannya bulat-bulat dan memaafkan kalian. Tapi adakalanya seseorang bisa sangat muak dengan rasa sakit yang dia derita. Karena itu, tolong berhenti bersikap egois dan lihatlah kondisi putri-putrimu," tutur Dityana sebelum akhirnya melangkah pergi. Meninggalkan sosok Juna yang hanya mampu terdiam dengan kemelut di hatinya.

Strawberry Mojito (Open Pre-order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang