BAB. 18

53.2K 4.4K 16
                                    

Semuanya menggelap. Tak ada apapun yang bisa dia lihat selain kegelapan yang menusuk netranya. Seolah dia tengah terjebak dalam ruang waktu yang hanya terisi oleh kegelapan sama sekali. Arelia berusaha mengulurkan tangannya, mengerang nyeri ketika dadanya tak lagi bisa meraup udara sebanyak biasanya. Seluruh tubuhnya pun seakan terus tenggelam ke kedalaman yang tak terbatas.

Dimana dia?

Apa Arelia sudah mati? Lalu haruskah dia menyerah saja? Merelakan jiwa dan raganya terbawa hanyut oleh desir arus yang dingin?

Atau...

Arelia harus terus berjuang?

Kemudian Arelia mengingat semua jalan yang dia lalui dalam hidupnya. Bagaimana ia selalu tumbuh dalam cemoohan orang-orang karena terlahir dari seorang wanita tak bersuami. Anak haram, begitu lah semua orang memanggilnya. Namun mungkin hidupnya tidak akan serumit itu jika semuanya selesai sampai disana, tapi tidak, Arelia harus menelan semua kepahitan ketika satu-satunya keluarga yang dia miliki tidak pernah menginginkan. Arelia bahkan masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana raungan ibunya yang memintanya untuk enyah malam itu.

Tapi mengapa Tuhan tidak juga membiarkannya hidup nyaman setelahnya?

Saat usianya menginjak sebelas tahun, Ayah yang selama ini tidak pernah ia tahu tiba-tiba kembali. Bukan untuk membawa kabar baik tapi untuk memberi tahunya bahwa jalannya jauh lebih buruk. Ayahnya, Junandra Dewantara pemilik dari yayasan besar yang kemahsyurannya sudah terkenal di seluruh negeri. Lalu ibunya, hanyalah seorang karyawan pabrik biasa bernama Yulia. Keduanya bertemu secara tidak sengaja dan kemudian memilih untuk menikah secara siri. Iya, karena sebelumnya Juna sudah lebih dulu memiliki sebuah keluarga dan bahkan sudah memiliki seorang putri yang usianya hanya terpaut satu tahun lebih tua darinya.

Arelia tidak mengerti apa yang terjadi karena tak lama sejak mereka bersama, Juna memilih pergi tanpa tahu kalau Yulia tengah mengandung anak mereka. Sampai dua belas tahun kemudian, saat Juna kembali dan memutuskan untuk membawa Arelia pergi bersamanya. Dan jelas itu adalah keputusan paling buruk yang pernah Arelia lakukan, karena setelahnya dia malah harus berkali-kali menelan luka atas penolakan semua orang orang.

Termasuk Mahina.

Meski pada awalnya gadis itu bersedia menerimanya namun lambat laun Arelia juga kehilangannya.

Hanya ada Dityana yang bersedia mengulurkan tangan untuknya dan selebihnya Arelia diperlakukan tak lebih dari sekedar bongkahan sampah tak berharga.

Sudut hatinya tertawa kala mengingat semua itu. Terutama saat setelahnya Yulia meninggalkan Arelia saat dia menginjak bangku SMA. Hanya beberapa minggu setelah Arelia berhasil selamat dari cengkeraman Mahina yang mencoba menenggelamkannya di danau di belakang rumahnya.

Merasakan seluruh jiwanya yang semakin tenggelam Arelia kemudian mengulurkan tangannya. Secuil hatinya berharap akan adanya seseorang yang mampu menggapai dan menariknya. Namun semakin lama kekosongan ini malah semakin terasa nyata. Arelia sendirian. Menanggung nyeri yang mengikat paru-parunya erat-erat.

Sayup-sayup Arelia bisa mendengar beragam suara di kejauhan sana, memanggil namanya yang rasanya sudah sedikit dia lupakan. Sampai dia merasakan seseorang memeluknya. Menariknya dari kehampaan dan kesakitannya.

"ARELIA BANGUN!!"

***

Dokter bilang Arelia mengalami demam tinggi setelah mengalami kejadian yang membuatnya syok berat. Untungnya Axelle langsung datang ke kosan Arelia sehingga dia bisa membawanya ke rumah sakit tepat waktu. Jika Axelle tidak datang, dia tidak bisa memikirkan apa yang akan terjadi.

Yah, meski dia harus membayar ganti rugi setelah mendobrak pintu sampai jebol.

Suhu tubuh Arelia masih sangat tinggi, tubuhnya pun basah kuyup oleh keringat sehingga Axelle harus senantiasa menyekanya dengan sapu tangan. Sesekali Arelia juga mengerang, menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dia mengerti. Axelle hanya mampu membisikkan kata-kata lembut, meminta gadis itu untuk terus berjuang.

Axelle lalu menyentuh pipi Arelia yang membengkak. Setelah mendengar tuturan Alexa dia sangat marah, rasanya ingin sekali membalas orang yang telah menyakiti gadisnya. Mengobrak-abrik mereka sehingga luluh berkeping-keping.

Namun di sisi lain ada juga perasaan tak berdaya. Mengapa dia tidak ada saat Arelia benar-benar membutuhkannya? Seharusnya Axelle selalu melindunginya sehingga kejadian ini tidak akan terjadi.

Juga bagaimana mungkin Arelia berpikir kalau dia akan meninggalkannya hanya karena alasan seperti itu? Maksudnya sejak mengajak Arelia berkomitmen, Axelle sudah berjanji untuk menerima gadis itu seluruh. Axelle mencintainya. Persetan dengan masalah keluarganya, Axella tak peduli sedikit pun. Lagi pula sama seperti apa yang keluarganya pikirkan, Arelia bukan lah pihak yang salah.

"Fuck!" Axelle mengacak rambutnya frustasi.

Mengeluarkan ponselnya, Axelle lalu men-dial nomor Dityana. Dia harus menuntut balasan, bagaimana pun Mahina adalah bagian dari keluarga Dityana. Butuh sekitar lima deringan sampai laki-laki itu mengangkatnya.

"Apa lo enggak punya adab sampai telpon orang tengah malam begini?!" Sembur Dityana yang tak terima kalau Axelle menghubunginya pukul sebelas malam.

Axelle mendengus. "Persetan dengan adab, dimana Mahina?!"

"Mahina? Bagaimana lo kenal dia?"

"Jangan bertingkah seolah lo enggak tahu, hari ini Arelia terluka dan semua itu gara-gara keluarga lo itu."

Sempat ada keheningan sejenak sebelum suara Dityana kembali terdengar. "Bagaimana keadaan Lia?"

"Huh! Seolah lo peduli!"

"Jelas gue peduli! Kalau gue tahu gue pasti udah bertindak."

Bertindak?

Lucu sekali. Jelas Dityana sudah mengetahui hal ini sejak lama namun apa yang laki-laki itu lakukan? Tidak ada! Arelia masih saja terluka.

Munafik!

Dulu Dityana selalu bersikap kasar padanya seolah Axelle adalah pisau tajam yang bisa melukai Arelia setiap detiknya. Namun kenyataannya, lihat saja. Bukan dirinya yang menyakiti Arelia tapi malah orang-orang yang notabennya adalah keluarganya sendiri.

"Gue akan menuntut balas!"

"Jangan," sergah Dityana cepat, "soal Mahina biar gue yang urus. Lo enggak usah khawatir, cukup lindungi Lia dan pastikan kalau dia baik-baik saja."

Axelle mengatupkan rahangnya. Mendengar keputusan Dityana hanya membuatnya semakin marah. Apa Dityana berpikir dia akan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja? Tidak! Axelle bukan lah orang sebaik itu.

"Lo pikir gue mau melakukan itu?" Cecar Axelle penuh kesarkasan.

"Gue mohon, biar gue yang urus masalah ini. Lo enggak mengerti situasi sebenarnya, lo pikir kenapa Lia hanya diam saja? Lia tahu yang sebenarnya. Jadi please, lo cukup diam disana. Jaga Lia dan pastikan kalau dia baik-baik saja."

Axelle bergeming, tak menjawab.

"Bagaimana kondisi Lia?"

"Dia terbaring di rumah sakit sekarang, deman setelah mengalami syok berat. Menurut lo gimana?"

Terdengar helaan nafas berat di seberang sana sebelum akhirnya Dityana kembali bersuara.

"Sekarang gue akan pergi ke rumah Om Juna. Jaga Lia baik-baik," pinta Ditya dengan suara amat lirih.

Setelahnya panggilan mereka terputus.

Axelle kembali menaruh perhatiannya pada Arelia, gadis itu masih setia menutup matanya. Nafasnya masih terengah, seolah-olah tengah menahan sesuatu. Axelle lalu meraih tangan Arelia dan mengecupnya lamat-lamat.

"Babe, wake up."

Strawberry Mojito (Open Pre-order)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن