11. Panglima Eisakiel

279 62 0
                                    

Goa di dalam hutan itu gelap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Goa di dalam hutan itu gelap. Tak ada seorang pun bersuara. Harjun merambat akar belukar, menebasnya dengan pedang panjang dengan keras.

"Panglima Kiel! Sudahi meditasimu! Para dewa sudah mendengar permintaanmu!"

Tak ada yang menjawab seruan Harjun. Ia kembali menelusur lebih dalam.

"Panglima Kiel!" seru Harjun lagi dan lagi.

"Dewa telah mendengar permintaanku?"

Eisakiel tiba-tiba sudah berada di belakang Harjun.

"Hei, Kiel! Lama tak jumpa! Bagaimana kau bisa bermeditasi hampir 900 tahun di goa ini?" Harjun menatap Eisa dengan binaran mata rindu.

"Di mana sang penerus takhta?" Eisa bertanya dengan nada tenang tanpa menjawab pertanyaan Harjun. Langsung ke inti adalah prinsipnya.

Harjun memperlihatkan darah di tangannya. "Di tengah hutan dekat bebatuan Klasikopia."

"Dia tengah kesakitan?" tanya Eisa sambil menerawang. Matanya terpejam kemudian tubuhnya diam.

"Hei, jangan bilang kau tengah mengeluarkan rohmu dari tubuh lagi?" tanya Harjun khawatir.

"Berikan ramuan ini pada Yang Mulia. Jangan sampai terlam-"

"Panglima Kumbara!" seru seseorang dari arah luar goa.

Seruan itu membuat Harjun tersentak. Eisa keluar goa dengan tenang, Harjun mengikuti dari belakang.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Eisa saat melihat Lanu membopong Vino yang kepalanya tengah bercucuran darah.

"Tidak lebih dari baik," jawab Lanu.

Eisa langsung meminta tolong pada Lanu untuk merebahkan Vino. Cucuran darah itu nampak meluncur segar. Bebatan kain yang diikat Lanu di kepala Vino dilepas oleh Eisa. Basah. Sudah berlumur darah. Eisa membuka jubah transparan berwarna hijau tua yang menutupi kaus hitam yang memperlihatkan lengan.

"Sudah tak tertolong lagi," ucap Eisa sembari menutup sekujur tubuh Vino dengan jubah panjangnya dari kepala hingga ke lutut. "Biarkan dia istirahat dengan tenang."

"Secepat ini? Yang Mulia mati? Padahal kita sudah menunggu ribuan tahun." Harjun terperangah.

"Yang Mulia tak mati...." Lanu menjelaskan. "Ia hanya tengah melihat lebih banyak dari apa yang harus dia lihat, jadi, biarkan dia beristirahat dengan tenang untuk waktu yang sebentar."

"Ah... Begitu.... Kalimatmu selalu ambigu, Panglima Kiel. Diriku bingung untuk mengartikannya," kata Harjun.

"Setidaknya kau punya Panglima Ararki untuk menerjemahkan kata-kataku yang ambigu ini." Eisa kembali bersemedi.

Sore itu mentari dengan cahayanya beringsut sendu. Raja Kelana tertidur di samping Panglima Eisakiel, sang panglima peramu.

-

Panglima Raja KelanaWhere stories live. Discover now