08. Panglima Mahespati

411 78 0
                                    

Samudra begitu luas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Samudra begitu luas. Tatkala matanya yang dalam menyiratkan kesepian mendalam. Suasana ini membuat Vino tak nyaman sekaligus tenang. Rasanya begitu aneh. Tak pernah ia merasa seperti ini. Deburan ombak yang saling terangkat, bagaikan tirai menerpa batuan karang. Di atasnya cakrawala terhadap luas bagai permadani di kaki langit. Vino menengadahkan kepalanya ke langit. Ia merasa sedih, sepi, tenang.

BYUR!!!

Ombak itu menghantam kaki Vino yang berdiri di tepian batu karang. Sejuta dingin merambat kakinya. Terlihat jelas, dalam gulungan ombak, siluetnya nyata. Vino tersenyum. Rasanya ia tau itu siapa. Itulah orang yang dikejar Nyongki, bukan? Namun, di mana Nyongki kiranya berada bersama Aksa yang tadi mengejarnya? Di mana pula Yohan yang dari tadi bersamanya?

CYAS... BYUR...

Semburan air yang terangkat ke batu karang membawa seorang pria berdiri teguh di samping Vino. Pria itu sangat putih, memakai baju biru sebiru lautan yang dikendalikannya.

"Apa kabar, Yang Mulia?" Pria itu membungkuk hormat.

"Berdiri saja, kak, jangan begini." Vino memegang pundak Kenzi. Ya, Vino hafal semua nama mereka. Mulai dari Aksa hingga Raymond. Bagaimana tidak? Kala itu pernah Vino mengambil foto absen dari kelasnya yang baru dan menghafal nama-nama mereka. Nama-nama yang begitu indah.

"Kak, aku ingin pulang." Vino tersenyum samar menatap lautan.

Kenzi menatap Vino kemudian berkata dengan tak acuh, "Maka pulanglah, Yang Mulia. Hamba terkurung di lautan ini pun tak jadi masalah. Sudah terbiasa."

"Apa yang harus ku lakukan, kak? Aku bahkan baru saja menemui kalian. Kenapa jadi begini?"

Selepas Vino berbicara, deburan ombak menghantam batu karang yang tengah dipijaknya. Membasahi area kaki hingga ke pinggang Vino.

"Berhenti memanggilku kakak, Yang Mulia. Bahkan samudra pun marah mendengar penerus raja memanggil panglimanya dengan sebutan kakak."

Vino menatap nanar pada Kenzi. Perasaan apa ini? Bagai deja vu. Pernah terjadi.

"Kau tau, Yang Mulia? Hamba tertidur dalam dekapan lautan. Tersesat, sesak, tak bisa bernapas. Laut merengkuh hamba begitu dalam. Mengguyur badan hamba hingga terhuyung ke samudra. Panglimamu... Panglimamu, Yang Mulia.... Terkurung dalam hampanya waktu begitu lama. Seperti senjata makan tuan."

"Aku tak mengerti maksudmu, kak." Vino menatap Kenzi nanar.

"Hamba hanya ingin berpesan, jikalau Yang Mulia menyerah sekarang, apakah sosok Yang Mulia bisa disebut sebagai penerus raja? Hamba tau, bahwa ayahanda Yang Mulia Putra Mahkota bukanlah raja yang baik. Ia menjerumuskan kami, para panglimanya sampai terjebak dalam ruang hampa sampai saat ini." Kenzi membuat semilir air di lautan, menggerakannya dengan secarik telunjuk tangan. "Maka, dari situ, hanya Yang Mulia lah yang dapat menyelamatkan kami. Ibu hamba berikut dengan panglima yang lain mungkin, bukan mungkin, pasti sudah mati. Menunggu kami hingga ratusan tahun, tapi, tak apa. Di sini kami hanya ingin berjuang untuk Negeri Kelana. Negeri kami. Kami pula sudah mengikrarkan sumpah untuk melindungi raja hingga semua keturunannya selama kami hidup. Bahkan jika kami punya anak, maka, anak kami yang akan meneruskan perjuangan tersebut. Mohon maaf jika hamba terkesan menggurui dan tak sopan pada Yang Mulia, namun, hamba harus mengatakan ini semua. Hanya Yang Mulia yang dapat menyelamatkan kami, sang panglima Raja Kelana. Izinkan hamba, Panglima Mahespati untuk undur diri, Yang Mulia. Senang bisa bersitatap dengan Yang Mulia lagi. Semoga keteguhan hati Yang Mulia untuk menyelamatkan kami bisa bangkit."

Selepas Kenzi, sang Panglima Mahespati bertutur panjang lebar, ombak membawanya ke dalam samudra. Vino berdiam diri hingga sore di terumbu karang itu. Mengabaikan perutnya yang lapar, sudah keroncongan karena belum makan apa-apa.

"Panglima Mahespati, bisakah engkau kembali?" Setelah berjam-jam duduk di batu karang sembari memeluk lututnya, Vino akhirnya mengatakan sesuatu, memberikan suatu pertanyaan meski akhirnya tak ada yang menjawab. "Kak Kenzi, boleh gak kakak ke sini lagi?"

Pusaran air kecil itu tiba-tiba membesar setelah Vino bertanya entah pada siapa, meminta Kenzi untuk kembali. Vino terpaku. Diam. Tak bergerak. Kaku. Kenzi menggendong Nyongki dari dalam pusaran air dan keluar dari situ.

"Permisi, Yang Mulia. Hamba izin untuk memberikan napas buatan untuk Panglima Mahapati." Kenzi menidurkan Nyongki yang terkujur kaku di batu karang, tempat Vino duduk.

"Apa yang terjadi, kak?" tanya Vino yang tak digubris oleh Kenzi.

Kenzi masih terus memberikan napas buatan, sekali dua menghentakkan kedua tangan kecilnya ke dada Nyongki agar air laut yang diminum Nyongki dimuntahkan.

"Hei!!!" seruan itu, suaranya begitu khas. Yohan dengan teriakan cemprengnya berlari menghampiri. "Panglima Mahespati! Senang bertemu denganmu lagi!!!"

"Aku juga senang bertemumu lagi, lebih senang kalau kau membantu dia agar kembali sadar dari alam mimpinya," kata Kenzi agak sarkas.

Yohan langsung mengumpulkan tenaganya. Menghirup angin yang bersemilir di pantai menggunakan mulutnya, menyimpannya sebentar lalu memberikannya langsung ke mulut Nyongki. Tiba-tiba Nyongki terbatuk. Seluruh air keluar dari mulutnya.

"Tolong bawa Panglima Mahapati untuk menenangkan diri. Tenggelam bukanlah hal yang biasa untuk batin seseorang," pinta Kenzi.

"Tapi, Yang Mulia..."

"Aku mohon, Panglima Salvador." Kenzi berkata dengan tegas. Tak ingin ada penolakan dari lawan bicara.

"Izinkan hamba, Yang Mulia," ucap Yohan sambil membungkuk hormat pada Vino.

Yohan akhirnya pergi, dengan kekuatan anginnya membawa Nyongki ke atas, terbawa angin yang dikendalikannya.

"Hamba yakin, Panglima Mahapati mencari hamba, Yang Mulia." Kenzi menjelaskan. "Padahal ia tak bisa berenang, nekat sekali untuk mengarungi lautan yang begitu luas. Untunglah hamba menemukannya dengan radar hamba."

Vino masih terpaku. Mencerna semuanya.

"Batas Revitas sudah tak ada lagi. Semua panglima yang kau temui sudah bebas di alam ini. Mereka yang merasa tertidur hanya sebentar, sudah bangun dan siap untuk berjuang kembali, demi dirimu."

Hening sekejap. Matahari mulai terbenam di barat, kelelahan memancarkan cahayanya sepanjang siang. Vino hanya memperhatikan lautan yang makin menggelap. Pekat. Bagai pikirannya yang sudah kalang kabut sendiri. Ia ingin pulang, menjalani kehidupannya yang normal. Tak mau jadi penerus raja, tak mau jadi putra mahkota. Ia hanya mau jadi seorang Vino Putra Klanarez, seorang siswa penerima beasiswa di sekolah elit bergengsi. Kini baru Vino rasakan hidup seperti itulah yang Vino dambakan. Terdiam dalam satu titik tanpa harus membuat tanda besar.

"Aku hanya ingin pulang, kak." Vino berkata-kata seperti itu lagi untuk kedua kalinya.

"Sekali lagi Yang Mulia berbicara seperti itu, Yang Mulia akan benar-benar dipulangkan, dan kami tak akan tau kemana Yang Mulia pergi. Yang tersisa hanyalah kami, yang sudah menemui Yang Mulia, yang sudah diberikan kehidupan kembali."

"Tetap, aku ingin pulang."

Panglima Raja KelanaWhere stories live. Discover now