07. Panglima Mahapati

404 90 3
                                    

Tanah itu gembur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanah itu gembur. Terhambur. Bagai gempa awalnya. Mengangkat Vino ke atas, keluar dari lubang tempat ia terjatuh tadi. Tak perlu lima menit lebih seperti terjatuh tadi. Vino hanya perlu lima detik untuk sampai di permukaan. Terbebas. Bisa menghirup udara segar lagi.

"WAH!" Vino tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Segalanya terasa begitu tiba-tiba.

DUAR!

Tanah membludak. Tibalah kini Panglima Salvador-yang Vino kenal sebagai Kak Yohan di dunia nyata, kembali ke permukaan. Bangun dari tidurnya.

Entah dari mana, Aksa mendekat. Tersenyum, memeluk Yohan. "Apa kabarmu, Panglima Salvador?"

Yohan balas memeluknya. Tersenyum nakal, menyeringai. "Rasanya diriku masih ingin tidur lagi. Seperti tertidur 5 menit."

DUAR!!! BRRRR....

Tanah itu menggebur, membludak, mengangkat sang penngendali itu ke atas. Yang mengendalikan masih di atas tanah, bagai melayang.

"Hei, Panglima Mahapati! Cukup sudah bermain tanahnya. Turun kau hamster nakal!" seru Yohan.

"Aku bukan hamster!" seru seseorang yang Vino ingat namanya bernama Nyongki, lebih terdengar seperti orang merajuk.

"Lalu kau ingin disebut apa, hah? Tikus tanah?" Yohan mengangkat kedua alisnya. Malas berdebat.

"Harimau. Harimau lebih baik." Nyongki turun perlahan, mengendalikan tanah untuk tidak membludak lagi kemudian menutup segala kekacauan yang ia timbulkan.

"Apapun itu, harimau, tikus tanah, ataupun hamster sekalipun. Kau ke sini dulu. Kita belum memberi salam hormat yang betul kepada Putra Mahkota."

Keduanya bersebelahan. Membungkuk, menekuk lutut, kemudian berkata serempak dengan tegas, "Salam, Yang Mulia."

Vino mengerjapkan mata. Ia lupa dengan perannya, kehabisan kata untuk semua yang telah ia saksikan. Semuanya masih terasa tak masuk akal bagi Vino. Revitas. Kota Patera. Segalanya bagai fantasi anak kecil dalam dongeng yang diceritakan ibundanya. Saat Vino termenung, Yohan dan Nyongki masih tetap dalam hormatnya, menekuk lutut dengan gemetar karena tak berani dan tak boleh berdiri sebelum sang raja membalas salam dari mereka.

"Yang Mulia, bisakah kau membalas salam dari kami? Kaki hamba sudah gemetar."

"Ah, ya. Salam juga untuk kalian, kak."

Nyongki pun berdiri, menyeringai, menampakkan gigi. Yohan pun juga, namun, setelah berdiri, Yohan memukul bagian belakang kepala Nyongki keras-keras.

"AW! SAKIT!" seru Nyongki dengan suara kencang. "KENAPA KAU MEMUKULKU?!"

"Mana adabmu, hah? Bisa-bisanya kau bicara pada Yang Mulia seperti itu?!" seru Yohan. Agak tercekat. Tak mau pertikaiannya dengan Nyongki terdengar.

"Kak... Sudah, kak, biar saja," kata Vino membuat Yohan melongo.

"Yang Mulia... Yang Mulia Putra Mahkota, kau memanggilku kakak? Tetapi, aku bukan-"

"Diam saja. Itu mauku."

"Baiklah. Ampuni hamba."

BRRR....

Suara itu terdengar dari kejauhan. Melesat di telinga mereka bagai deruan. Awalnya Vino mengira bahwa Nyongki tengah asyik bermain dengan kekuatannya. Nyatanya tidak. Nyongki diam, masih memegangi kepalanya yang dipukul Yohan tadi.

"Apa kalian mendengar itu, kak?" tanya Vino kebingungan. Senyap. Yang lain hanya terdiam.

BRRR... BYAR... BYUR... BYAR...

Bagai tsunami datangnya. Untunglah Yohan cekatan. Diangkatlah Vino, Aksa, dan Nyongki menggunakan kekuatannya. Tak bisa bertahan lama. Menahan berat tubuh manusia menggunakan semilir angin sungguh melelahkan bagi seorang Yohan. Kecuali ia membuat topan. Lebih mudah mengangkat mereka berempat, berikut dengan pohon-pohon di sekitar hutan yang tertanam di tanah. Tsunami dadakan itu akhirnya selesai. Hutan jadi seperti bau tanah sehabis hujan. Becek jadinya. Dengan debuman tangan Nyongki dan tiupan yang keluar dari mulut Yohan, tanah hutan pun kering, meski tak seluruhnya. Kalau harus mengeringkan seluruhnya, bisa habis energi kedua panglima itu.

"Dari mana datangnya air bah itu?" tanya Aksa pada Yohan. Yang ditanya hanya mengedikkan bahunya. Sementara Nyongki malah berlari menuju datangnya tsunami kecil yang sangat mendadak tadi.

"Hei, Panglima Mahapati! Hei, Mahapati! Hamster" Yohan memanggil-manggil Nyongki dengan marganya, tak menoleh. Dengan panggilan 'hamster' pun juga tak menoleh. Nyongki tetap tak berhenti melangkah kemudian berlari. Akhirnya sejurus kemudian, keluarlah panggilan itu, yang membuat Nyongki menatap tajam ke arah Yohan, mengatupkan giginya rapat-rapat karena muak dan kesal.

"HEI, TIKUS TANAH!"

"Sekali lagi kau memanggilku dengan sebutan hamster apalagi tikus tanah, akan kutimbun kau dengan seluruh tanah yang ada di bumi ini!"

Yohan meringsut mundur, mendekat kepada Aksa. Takut juga melihat rekannya yang kadang emosinya membluda, sama seperti bludakan tanah yang sering dibuat.

"KAK, MAU KEMANA?!" Dino berseru ketika raga Nyongki hilang tertelan kabut. Meloncat-loncat, di mana setiap Nyongki meloncat, gemburan tanah yang dipijaknya mencuat.

"MENEMUKAN SAUDARAKU!" Seruan Nyongki samar-samar terdengar.

"Dia sudah memasuki belahan lain dari hutan kota ini. Itu tempat terlarang!" Aksa ikut berlari namun langsung ditahan oleh Yohan.

"Hei, panglima! Kau mau mati, hah?!" Yohan menahan lengan Aksa dengan kasar, keduanya kini bertatapan, melempar emosi kesal.

"Kalau harus mati demi sesama panglima, aku rela!"

"Di sini ada Yang Mulia! Sopankah kau meninggalkan dia?!"

Aksa menelan ludah. "Mohon maaf jika hamba lancang, Yang Mulia. Hamba mohon izin untuk bicara pada Panglima Salvador. Kita. Kau dan aku telah disumpah untuk melindungi sesama panglima, bukan hanya raja beserta seluruh keturunannya! Ada kau! Kita bisa membagi tugas. Kau menjaga Yang Mulia dan aku mengejar Panglima Mahapati!"

Kepala Vino pening setelah diam beberapa menit untuk menyaksikan perdebatan tadi. Seru juga sebenarnya. Walau Vino tau situasi sekarang amatlah genting. Jalan yang dilewati oleh Nyongki adalah jalan berkabut yang dapat menutup mata. Kita tak tau ada apa saja di sana, namun, dengan kekuatan tanah yang dimiliki Nyongki, Vino bisa sedikit tenang. Vino memegangi kepalanya. Sakit kepala ini sungguh hebat, seperti dilanda air bah yang mendadak sewaktu tadi.

"Yang Mulia, apakah Yang Mulia baik-baik saja?" Yohan bertanya. Kala Yohan memperhatikan Vino, Aksa kabur mengejar Nyongki, membuat Yohan kalang kabut sendiri. "Yang Mulia, apakah Yang Mulia dapat mendengar suara hamba?!"

Ya. Vino masih bisa mendengar suara Yohan, akan tetapi, suara panglimanya itu tertutupi dengan sayup bunyi lautan yang merekah dari arah Nyongki pergi tadi. Ombak bedebur, menghantam bebatuan karang. Ini hutan, namun, suara itu terasa jelas nyatanya.

"Kak, apakah kau dengar suara lautan?"

Yohan memegangi kedua lengan Vino. Mencengkeramnya, takut Sang Putra Mahkota terjatuh pingsan. "Yang Mulia, Kau perlu istirahat."

"Aku sedang beristirahat. Mendegar sayup lautan yang memanggilku. Pertanda apakah ini?"

Yohan menatap ke arah Nyongki pergi tadi. Bunyi lautan. Tempat terlarang. Sudah jelas kalau ini ulah siapa. Sayup-sayup sayu yang terdengar seperti alunan musik, kadang berpadu dengan semilir angin yang menambah kesan akustik.

"Yang Mulia, kau melihat apa?"

"Melihat dia. Sedang berdiri di bibir laut. Terendam setengah badan sambil bersenandung. Menciptakan irama murung."

Panglima Raja KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang