46 | Galil Adab

Mulai dari awal
                                    

Naqiya yang sudah terlanjur sakit hati dengan perkataan buruk yang tertuju padanya itu tak memberikan senyum sama sekali. Kepalanya hanya mengangguk lesu sebelum mulutnya terbuka untuk berujar sesuatu.

"Fadhol," Ujarnya sebelum menunduk dan masuk ke dalam toilet yang sedari tadi menjadi tempat tujuannya. Tanpa salam, tanpa cipika-cipiki, Naqiya langsung meninggalkan kedua orang itu.

(*Silakan)

Di dalam toilet, Naqiya mengatur napasnya agar dirinya merasa sedikit tenang menghadapi situasi seperti ini. Memang, semua yang dikatakan Tsania benar. Naqiya sudah menikah bahkan sudah mengandung bayi dosennya sendiri saat Ali bahkan belum mengetahuinya.

Tapi, hamil duluan? Darimana Tsania mengetahui berita itu? Keluarganya bahkan Nenek Ainun menutup rapat-rapat aib tersebut.

"Ya dari Ali sendiri lah, Nay," Ucap Naqiya pada pantulan cermin yang menampakkan wajah gelisahnya. "Dan Ali dari Dek Fat."

Ya, semuanya berkesinambungan. Naqiya percaya hubungan darah memang lebih kental dari apapun. Sakitnya seorang Kakak adalah luka untuk adiknya, begitu sebaliknya.

Maka, itu juga berlaku pada Tsania dan Ali. Ali yang mendapat nasib demikian membuat Tsania murka padanya dan tak berat hati memaki dirinya.

Tapi...

Tsania tak menyebarkan aib itu pada siapapun di sini. Seharusnya kalau memang gadis itu dendam padanya, Tsania akan memberitahukan semua tamu yang datang bukan? Agar Naqiya semakin merasa malu dan tertekan karena rundungan mereka.

Tangan Naqiya membuka resleting tasnya untuk mendapatkan ponselnya di sana. Ia tak bisa berlama-lama di sini. Benar kata Bara, sekalipun itu keluarga belum tentu membuat Naqiya merasa aman.

Namun, belum sempat panggilan itu tersambung, ponsel Naqiya dengan cepat raib dari genggamannya. Gadis yang tiba-tiba masuk toilet dan meraih ponselnya itu terkekeh mengejek padanya.

"Afwan, Kak Nay, obrolan kita harus disela sama Umma," Ucapnya tanpa rasa bersalah. "Tapi aku belum selesai."

Naqiya menghela napasnya, rasanya hatinya mulai ciut melihat Tsania dengan keberanian penuh itu. Namun mengapa harus takut? Tak ada alasan Naqiya untuk merasa takut saat ini.

Berbeda saat dirinya masih mengandung Gaza. Naqiya akan merasa khawatir kalau bayinya kenapa-napa. Ia juga merasa takut kalau segalanya terbongkar karena kehamilamnya mulai membesar.

"Mas Bara?" Ejanya pada panggilan paling atas yang tadi hampir ditekan Naqiya. Belum sempat ditekan, ponsel itu sudah raib dari genggamannya. "Mau ngadu sama gadunnya Kak Nay?"

"Tsania jaga mulut kamu ya," Ucap Naqiya memberikan peringatan. "Balikin HP ku."

Tsania buru-buru menyembunyikan ponsel itu ke belakang badannya. Tentu Naqiya kesulitan menggapai ponsel miliknya.

Dengan langkah pasti, Tsania mendekat. Tatapannya penuh intimidasi. Kalau mata Tsania adalah sebilah pisau, percayalah itu sudah bisa menjadi modal untuk menumpahkan darah Naqiya sekarang.

"Kenapa Kak Nay tega?" Tanyanya pada Naqiya, kali ini sorot matanya melunak. Naqiya melihat kepedihan di dalamnya. "Apa keluarga kami ada salah ke Kak Nay?"

"Tsania," Panggil Naqiya lagi dengan gelengan.

Tsania masih kekeuh dengan pendiriannya. Ia masih tak terima Abangnya diperlakukan demikian. "Dosen itu bisa ngasih Kak Nay apa? Bahkan ngasih marga buat bayi Kak Nay aja nggak bisa."

Kilatan amarah dalam diri Naqiya kembali mencuat. Demi Tuhan, bukan hanya Bara yang sakit hati kala istrinya dihina. Naqiya pun merasakan hal serupa. Baginya, Bara adalah raja di rumah yang kehormatannya di luar harus ia lindungi.

Bayi Dosenku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang