Sebelum menjadi minimalis, dulu saya seperti orang yang tidak punya fokus. Setiap ajakan dan himbauan orang-orang terdekat dan teman-teman selalu saya terima, saya tidak terlalu pandai menolak dan mendebat, walaupun kadang dongkol dalam hati. setiap film box office dan buku populer rasanya wajib ditonton dan dibaca. Berita Politik dan isu terhangat selalu saya ikuti agar 'update' setiap kali diajak ngobrol.
Saya juga mencemaskan pendapat orang lain terhadap penampilan, sikap dan keputusan yang saya ambil saat itu. Tak jarang saya mencontoh keputusan dan sikap orang lain hanya karena saya anggap dia 'keren'. Saya seakan tidak punya pendirian, selalu mengikuti kemana 'tren' mengarah.
Sejak menjalani hidup minimalis, yang awalnya hanya mengurangi benda kepemilikan, ternyata ini hanya awalnya saja, berkembang ke semua aspek kehidupan. sejak itu saya mulai meng-kurasi setiap aktivitas dan kegiatan sehari-hari, saya selektif dan menyaring semua informasi, komitmen dan waktu yang saya habiskan. Saya juga selalu bertanya, ''apakah kegiatan ini esensial?", "apakah komitmen ini yang mendekatkan saya ketujuan besar?", Kalau tidak saya akan 'skip' dan fokus ke agenda dan tujuan yang telah saya tetapkan. Minimalis menjalar kesemua aspek kehidupan.
Kita punya hak untuk berkata 'tidak' untuk setiap komitmen yang tidak mendekatkan kita ketujuan awal. Saat kita berkata 'tidak' untuk hal yang tidak penting, kita berkomitmen 'ya' untuk hal yang lebih penting. Ini hidup kita, yang menjalani kita sendiri dan kita bertanggung jawab penuh atas hasilnya, oleh karena itu harus sesuai dengan tujuan kita. Minimalisme telah memberikan fokus dan membantu saya menemukan kembali diri saya yang seutuhnya.
YOU ARE READING
MINIMALIS KONTEMPLATIF
Non-FictionHal paling menyenangkan dari hidup minimalis adalah manfaatnya langung terasa. Ruangan jadi rapi, bersih dan lapang. Hidup lebih ringan dan ramping, hingga kita bisa fokus ke hal-hal yang lebih esensial dalam hidup.