04 - Kupu-kupu Malam

1K 123 5
                                    

"Makasih sudah belikan saya makan dan kasih ongkos buat pulang juga... saya bukan orang dari daerah ini, kemungkinan kita tidak bertemu lagi. Jadi, gimana cara saya bayar utang pada kamu?"

Rai dan kupu-kupu malam itu berjalan menyusuri jalan raya, menunggu bus melintas, agar perempuan itu lekas kembali ke rumahnya.

"Gak usah dibalikin, Kak, saya gak ngutangin kok...."

Perempuan itu merunduk, "atau kamu mau pake saya? Sepertinya di depan sana ada gubuk. Banyak anak sekolah yang suka menyewa saya juga, kok...."

Rai langsung menatap perempuan itu dengan horor, "e... enggak, kak, saya masih SMA...."

"Loh? Malah anak SMP juga banyak yang sering main sama saya... Tapi saya lagi gak punya kondom... jangan keluar di dalam, ya...."

Rai garuk-garuk. "Kakak udah lama kayak gini?"
Rai bertanya dengan hati-hati, mungkin tidak sopan, tapi alasan ia bertanya seperti itu karena dirinya heran perempuan tersebut bisa dengan santai dan tanpa beban mengucapkan itu pada Rai.

"Dari umur sepuluh tahun saya sudah menjadi PSK...."

Rai terkesiap, "m—masih muda berarti, Kak...." Rai kikuk.

"Awalnya dijual... akhirnya jadi kebiasaan... ya udah, karena penghasilannya juga menjanjikan, jadi saya lakukan terus".

Tiada beban, tapi sorot matanya mengandung kegelisahan.

"Sekarang Kakak umur berapa?"

"Dua puluh satu...."

Rai mengangguk-angguk.

"Kamu jangan jadi seperti saya...."

Rai hanya mampu senyam-senyum.
"Aman, Kak, saya laki-laki... mana ada yang mau sama saya"

Perempuan itu tersenyum tipis, "banyak kok...laki-laki yang jadi pelacur juga".

Rai tertarik untuk menyelami kehidupan perempuan yang berprofesi sebagai kupu-kupu malam ini. Apa alasannya melakukan itu selain uang? Jujur... penghasilan Rai sebagai pemulung juga lumayan menguntungkan bila dikumpulkan, mengapa perempuan itu tidak jadi pemulung saja?

"Saya juga kalau bisa pilih, tidak mau jadi seperti ini...."

Rai tidak mengenalnya, ia tidak tahu serumit apa hidup perempuan itu. Yang jelas, dia pasti memiliki alasan untuk menjalankan semua ini.

"Kamu sendiri, kenapa masih di jalanan malam-malam begini? Masih anak sekolah, kan?"

Rai duduk duluan di pinggir jalan, perempuan itu menyusul.
"Saya pemulung di sekitar sini... tadi masih ada keperluan di kolong jembatan di deket mall itu, makanya belum pulang...."

Malam ini, lampu jalanan menjadi saksi bisu percakapan antara seorang pelacur dengan pemulung, mengenai hidup masing-masing yang beratnya tidak terdefinisi.

"Kamu hebat, ya, masih mau sekolah...." Perempuan itu berucap, Rai menoleh padanya.

"Terpaksa sebenarnya, saya gak suka sekolah... dibully terus. Yah, tapi wajar mungkin, ya, karena saya bukan orang berada seperti mereka...."

Perempuan itu mengusap kepala Rai, lembut. "Jangan putus sekolah, ya. Hidup kamu bisa berubah. Hari ini mungkin kamu menjadi pemulung yang dianggap sebelah mata oleh orang lain. Tapi suatu saat nanti, kamu bisa jadi orang yang sukses... takdir tidak ada yang tahu...."

Rai tersenyum, "saya gak pernah tersinggung, kok, karena faktanya saya memang pemulung. Kalau gak begini, saya gak bisa makan.... Kakak juga masih panjang kok jalannya, kakak masih muda.... Dan tadi kakak bilang, sebenarnya kakak gak mau jadi pelacur, kan? Kakak masih bisa cari pekerjaan lain...."

AFTER LIKE | BxB |Où les histoires vivent. Découvrez maintenant