03 - For Better Life

795 116 7
                                    

"Kayak pangeran sama jongosnya, haha...."

"Lebih mirip tuan sama peliharaan, sih".

"Yang satu ganteng banget, yang satunya jelek banget".

"Tau gitu, tadi gue aja yang pindah duduk sama Gilang, si Rai ganggu pemandangan banget deh...."

"Dih? Aturannya kan duduk berdua, kalau Lo sama Gilang, nanti gue sama Rai, dong?!"

"Iya, sekalian Lo kenalan sama dia, haha"

"Jijik banget, ewh!!"

Gilang menoleh ke arah Rai, ia tahu bila Rai mendengar apa yang dirinya dengar juga. Tetapi, Rai tampak tidak peduli dan tetap berkutat dengan Tugas Matematika yang lima belas menit lalu diberikan oleh guru mereka. Sebenarnya, tugas tersebut adalah pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan dua hari lagi, Gilang tidak tahu apa motivasi Rai memilih mengerjakannya sekarang.

"Dah, beres...."

Lima soal yang beranak itu dapat Rai selesaikan dengan waktu kurang dari lima menit. 

"Raiga Mayora... aneh banget namanya, hahaha!!"

Telinga Rai mulai panas, nama belakangnya juga salah satu faktor yang membuatnya sering diolok-olok.

"Kenapa harus Mayora? Gak sekalian Raiga Roma Kelapa? Raiga Le Minerale? Atau Raiga Choki-choki, hahahaha".

Mereka tidak tahu saja, ada filosofi mengapa ia bernama demikian.

Kata Mamanya Kelvin, ketika Rai masih bayi, Mamanya Rai sempat mengalami baby blues. Saat itu, Rai kecil yang baru lahir, pernah dibuang, dan yang menemukannya adalah Mamanya Kelvin.

Rai hanya mengenakan popok bayi, dan diletakkan di atas kardus begitu saja. Popok bayi tersebut memiliki merek "Raiga", dan saat ini sudah hilang peredarannya dari pasaran. Kardus yang menjadi alas tidur Rai juga terlihat memiliki merek salah satu produk makanan yang dikeluarkan oleh perusahaan bernama "Mayora". Maka dari itu, ia diberi nama Raiga Mayora, karena saat itu Rai yang masih bayi belum diberi nama oleh orangtuanya.

Rai selalu merasa sedih bila mengeja namanya sendiri. Ia takut bila kondisinya saat ini adalah representasi dari dirinya semasa bayi. Orangtuanya tidak kunjung pulang, apakah mereka sudah membuang Rai? Persis seperti saat Rai masih bayi dulu?

Dengan itu, Rai lebih senang bila orang-orang hanya memanggilnya Rai. Tanpa Raiga atau Mayora. Tanpa nama merek popok yang ia pakai saat bayi, ataupun logo brand perusahaan dari kardus alas tidurnya dulu.

"Gue mau cabut... nanti balik lagi, kalau inget".

Belum satu hari ada di sana, tapi Rai sudah tidak betah. Seharusnya ia negosiasi dengan Kelvin dan Mamanya, agar Rai sekolah di SMA yang biasa-biasa saja. Di sekolah elite seperti ini, strata sosial mereka kentara sekali... Rai berpotensi dibully lagi.

Gilang tidak mencegah, ia juga tidak terlalu peduli dengan keberadaan Rai.  Tidak hanya Rai, sebenarnya Gilang juga tidak peduli dengan keberadaan semua orang.

"Hallo ganteng... minta nomor WA dong, Lo gak mau join grup kelas, kah?"

Gilang mendecak, saat tiga orang siswi sekelasnya menghampiri. Itu bukan pertama kali, sejak KBM berlangsung memang banyak yang sering mencari perhatian pada Gilang. Sialnya, Gilang tidak pernah menanggapi atau menunjukkan ketertarikan pada mereka.

Tapi Gilang sadar, bila mereka akan terus menerornya.

Maka dari itu, Gilang merobek secarik kertas, dan membubuhkan nomor ponsel di atasnya.

Itu bukan nomor ponsel Gilang, melainkan nomor ponsel Afhan.

"Nih".
Setelah itu, Gilang berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki untuk pergi.

AFTER LIKE | BxB |Where stories live. Discover now