"Loh kenapa ini?"

"Selamat siang, Pak Basta," Dokter Rifza menyapa.

Di kamar Calvin hanya ada Basta yang tentu saja terkejut sebab Calvin pulang dalam keadaan memprihatinkan. Kancing atas seragam lusuhnya dibuka, menampilkan bahu kiri yang dibebat perban coklat. Celananya pun sudah berganti celana rumah sakit karena celana seragamnya sobek.

"Pelan-pelan," suster harus mengingatkan karena Calvin tergesa ingin segera berbaring di ranjangnya.

"Soal kejadiannya, bapak bisa tanyakan langsung pada Calvin. Saya akan menjelaskan kondisi lukanya terlebih dahulu."

Baru Calvin menyamankan diri, pintu menjeplak terbuka lebar-lebar.  Calvin sempat mengangkat kepala untuk melihat tiga dokter sebagai pelakunya. Dia memutar mata, lalu kembali rebahan.

Sebelumnya...

Metta, Oka, dan Hendrik sedang makan siang di cafetaria saat salah satu orang dari rombongan suster mendatangi meja mereka.

"Loh dok masih di sini? Katanya Calvin kecelakaan."

"Hah?!" Kompak ketiganya langsung tancap gas lari.

Jadilah sekarang Hendrik berdiskusi dengan dokter yang tadi menangani Calvin, sementara Oka memastikan kepala pasien kesayangannya tidak terdampak. "Pusing nggak? Matanya burem nggak?"

Digelengi Calvin. "Ini yang sakit," menunjuk dadanya dengan mata berkaca-kaca.

Metta duduk di kursi dan menggenggam tangan Calvin karena anak itu memejam tampak sangat kesakitan. "I feel so weird...eghhh...gini rasanya sakaratul maut?"

"Heh ngomong apa." Hendrik menerima obat yang baru tiba, dibawa oleh suster.

Selepas Dokter Rifza pamit keluar dan meninggalkan pesan akan menyiapkan ruang radiologi, situasi di kamar Calvin chaos. Jiwanya yang tadi sok kuat, kini dilepaskan sehingga para dokter perlu menenangkan.

Hingga pintu kembali dibuka, gerakan mereka terhenti sejenak. Dia Harsa, melirik sekitar dan lega karena selain tim dokter, hanya Basta yang ditemui. 

"Harsa. Kamu utang penjelasan." Suara berat Basta menyapa.

"I-iya mas," jawabnya terbata-bata. 

Tampaknya Harsa tidak diizinkan bernapas dengan tenang karena kini dia bimbang antara jujur atau mengarang.

"Bunda nggak mau ketemu Calvin buat yang terakhir kali?" anak itu masih meracau dengan pandangan terpaku pada lukisan keluarga astronout tepat di dinding depannya.

"Calvin..." Walau Metta tau ucapan itu keluar akibat obat yang diinjeksi, tetap saja nyesek. Secara tidak langsung, Calvin menginginkan keberadaan Bundanya. 

"But I'm dying..."

"No you're not. Relax ok? Kakak-kakak dokter mau sulap. Kaya biasanya, habis disihir habis itu, poof! Nggak sakit lagi," Metta berusaha menenangkan dengan mengusap kepala Calvin dan berbisik di telinganya.

"Poof," lirih Calvin. Obat mulai bekerja dan dia mulai tenang. Matanya pun berkedip lambat.

"That's right. Poof!"

"Poof," terakhir dan akhirnya Calvin tertidur setelah melirihkan mantra.

Pancaran mata Harsa menyendu. "Kak Tyan kemana mas?"

Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾Where stories live. Discover now